Child - Chapter TwentyOne

340 57 0
                                    

"Rasanya, aku ingin menghancurkan dunia saat ini." -H

Dia tidak ada dimana-mana.

Emma bersamaku tadinya, 'kan? Ia memandang langit dimalam hari dengan hujan bersamaku. Namun, setelah cerah matahari menyilau, mataku tak melihat keberadaannya. Bahkan jejaknya.

Apa yang semalam itu hanya mimpi?

Dalam diam, aku berteriak mensyukurinya.
Mimpi ternyata!

Tidak apa jika harus menyeramkan seperti itu. Aku bisa menoleransinya asal tidak nyata saja.

Jika semua itu nyata... Tidak-tidak.

Semua baik-baik saja. Apalagi Emma!

Mungkin saat ini ia sedang tersenyum lebar di rumahnya. Dan akan menjadi tidak masuk akal jika saat ini aku mengkawatirkannya sebegini kalutnya. Aku tak miliki alasan untuk bersikap sekonyol ini.

Aku merasakan pakaianku yang lembab ketika bangun dari kayu keras yang aku tiduri ini. Semalam hujan?

Iya! Aku ingat betul.

Tapi, mengapa aku berada disini? Mengapa tempatnya sama seperti mimpi semalam?

Sambil meregangkan lengan dan kakiku, aku beranjak bangun dan berniat kembali ke rumah. Mimpi yang kumiliki ini sangat menakutkan. Tak ada hantu di dalamnya, memang. Tapi, ini lebih dari sekedar hantu, ingatku.

Ibu mengusirku karena aku membiarkan ayahku terbunuh. Ia menyuruhku mengakui kesalahan yang tidak aku buat. Tidak masuk akal, pikirku. Begitu aneh khas bunga tidur.

Kini aku tahu sebab saat ini aku sangat letih dan lapar. Pasti aku menangis dalam mimpi dan membawanya hingga dunia nyata. Dan aku sangat ingat apa alasan dibaliknya.

Emma. Itu jawabannya.

Aku bergidik ngeri tak mau memikirkannya. Ia di perkosa hingga mati oleh ayahku. Dan itu sangat melebihi dari kata tidak masuk akal yang bisa dicerna otakku. Walaupun ayahku bisa sekeji itu, pikirku.

Tapi, 'kan tetap saja....

Dan yang membuatku sangat marah adalah ibuku yang membuang Emma ke danau. Dia membuang mayatnya! Aku tak habis pikir lagi. Kalau itu, namanya hal baru bagiku. Hal yang seribu kali tidak masuk akal.

Aku tahu ini hanya mimpi dan tak akan jadi nyata. Tapi, entah mengapa ada perasaan aneh yang mengelu-ngelu di hatiku. Rasanya tak asing, namun, aku tak bisa mengingat pernah mengenalnya.

Pernah, sela pikiranku. Dimana tapi?

Dan ia tak menjawab. Pasti ia berdusta, harapku dalam. Namun, seperti ada yang menyangkal kuat di bagian tubuhku yang tahu kebenarannya.

Apa kalau begitu, tuntutku. Ada apa sebenarnya?

Rasanya aku tahu namun tidak tahu. Atau mungkin aku memang tahu, tapi berpura-pura tidak tahu, ingatku pada diriku sendiri.

Susah payah aku menelan saliva hingga menyakiti tenggorokanku. Lalu tiba-tiba saja aku sadar, bahwa aku tak lagi berdiri. Aku jatuh berlutut di tanah yang basah. Kapan aku jatuh, aku bertanya-tanya. Siapa yang mendorongku?

Hal itu tak terasa penting bagiku karena yang kini harus aku khawatirkan adalah mengapa ada yang bisa merebut oksigenku dan menariknya dariku hingga aku tak bisa bernapas?

Sakit rasanya, batinku berteriak. Aku ingin menghancurkan dunia saat ini. Kembalikan apa yang harusnya menjadi milikku, bentakku. Namun, semut saja tak bisa mendengar.

Aku berlari menyusuri danau. Tidak tahu apakah aku berharap menemukan Emma disana atau lebih baik tidak usah saja.

Ini 'kan mimpi, kataku. Mengapa aku begitu mempercayainya?

Tapi, sisi lain dari jiwaku marah. Bukan mimpi! Jangan membohongi diri!

Membohongi diri, dia bilang. Lagi-lagi aku berpikir akan memberikan apapun agar aku dapat melakukannya saat ini.

Kakiku tak berhenti menelusuri danau yang entah mengapa panjangnya tak terkira. Hujan pasti membwanya lari, dariku. Arusnya pasti membawanya kabur dariku.

Emmaku pasti sangat ketakutan saat ini. Aku merutuk dalam hati. Mengapa danau ini begitu panjang? Aku mulai berpikir bahwa selama ini aku salah menamainya. Mungkin ini bukan danau, gumamku. Mungkin ini sungai yang alirannya akan membawaku ke muara.

Tidak apa, aku menemukan diriku bertekad. Sampai ujung dunia pun akan aku telusuri sampai aku menemukan wanitaku.

Mimpi, harapku. Ini hanya mimpi.

Tapi, semakin lama aku semakin ragu. Aku tak tahu mengapa rasanya menjadi senyata ini. Kini kulawan rasa perihku dan terus berlari menyusuri pinggiran sungai yang tenang. Begitu hening hingga segelap gulita.

Tidak ada dimana-mana, kataku. Kemana perginya Emmaku?

Lagi-lagi aku terjatuh untuk yang kesekian kalinya. Otakku tak bisa memikirkan apapun dan rasanya semua inderaku sama tak berfungsinya dengan pikiranku hingga jemari seseorang mencolek bahuku pun tak kusadari. Lalu ada pukulan keras disana membuatku menoleh waspada sekaligus geram.

Jika saja bukan anak kecil yang saat ini tengah berada di hadapanku, berdiri arogan, dengan dandanannya yang sangat aneh, mungkin kini tanganku telah memukulnya.

Memarahinya mengapa orang asing ini berani-berani muncul saat aku ingin melampiaskan segala ketidakadilan yang aku terima di dunia terkutuk ini.

###

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang