"Iblis dalam diriku bergejolak. Bersorak sorai atas penderitaan yang wanita itu alami." -H
Tangannya telah terantai. Begitupun pada kakinya.
"Mau kau apakan diriku?"
Baiklah, jadi tinggal mulutnya saja yang belum kututup rapat.
"Apa yang akan kau laku--"
"Sttt!" Desisku. "Jangan banyak bertanya, nona. Kau akan tahu."
"Aku tahu siapa dirimu!" Jeritnya gemetar. "Jangan kau bunuh aku, Tuan Styles. Apa salahku--"
"Salahmu," potongku. "Adalah bahwa tak sengaja takdir mempertemukanmu dengan pesuruhku, George, yang mengantarkanmu padaku." Jawabku membuat lututnya lantas melemas hingga ingin berlutut namun rantai yang menahan tangannya membuatnya tergantung.
"Izinkan aku hidup, aku mohon. Apapun akan aku lakukan asal aku tetap hidup." Rengeknya.
Aku menggeleng tak setuju lalu berucap, "kau tidak tahu separah apa dunia yang kau tempati, nona. Kau akan lebih memilih mati sekarang daripada nanti. Percayalah padaku--"
"Mana bisa!" Teriaknya dengan berani. "Mana bisa aku mempercayai iblis macam dirimu?"
Aku menatapnya sejenak. Matanya yang coklat berair dengan sedihnya. Ia berbalas menatapku, walau dengan sorotan yang berbeda. Detik selanjutnya tak ada rengekkan yang keluar dari mulutnya. Ia diam dan merasa bersalah atau mungkin takut dengan apa yang barusan ia katakan padaku.
Bagus, gumamku dalam hati. Lalu aku tertawa menghina di depannya.
"Aku ambil itu sebagai pujian untukku." Kataku. Membuat wanita itu meludah ke sepatuku. Tanganku langsung menarik dagunya dan mengangkat kasar. "Kau tahu dimana kau berada sekarang?" Tanyaku pelan namun penuh penekanan yang meluap dalam diriku.
Wanita itu tak berbicara. Mulutnya tertutup rapat melawan rasa gemetar yang menyelubunginya.
"Daerah kekuasaanku!" Bentakku tepat di depan wajahnya. "Kau tahu apa artinya? Atau kau terlalu bodoh untuk menerjemahkannya?" Kubuang dagunya dan menampar keras pipinya. Membuatnya menjerit kesakitan. "Artinya, aku boleh melakukan apapun, nona. Sesuai kemauanku dan kehendakku. Dan wanita sepertimu tak bisa melarangnya." Sambungku lalu menamparnya lagi dan lagi hingga mulutnya mengeluarkan darah.
Aku tersenyum sekilas lantas menatapnya lagi. Memandang betapa mempesona tubuhnya saat ini. Aku menelan salivaku lantas memutuskan permainan apa yang akan aku mainkan saat ini.
"Siapa namamu?" Tanyaku namun ia bergeming hingga yang berbicara adalah tangan kasarku yang menempeleng kepalanya.
"Lecha." Lirihnya.
"Tatap aku." Perintahku. Wanita itu bergeming lagi seakan tak mendengar apapun. "Aku bilang--" wajahnya langsung terangkat sebelum kalimatku habis. Aku tersenyum simpul. "Bagus."
Mata coklatnya memerah. Tangisannya tak berhenti. Sementara bibir darahnya berkedut. Iblis dalam diriku bergejolak. Bersorak sorai atas penderitaan yang wanita itu alami.
"Katakan keinginanmu." Kataku menemukan diriku menikmati keputus asaannya.
"Mengapa? Apakah lantas kau akan mengabulkannya?" Tanyanya dengan suara yang kecil. Aku menampar pipinya lagi yang kian memerah di kulit putih pucatnya.
"Kau harus belajar cara patuh tanpa bertanya, nona." Ucapku sembari menarik rambut coklat gelapnya di tangan kananku. "Coba aku tanya lagi. Apa keinginanmu?" Tanyaku tersenyum namun mencengkram lebih erat rambut panjangnya.
"Birkan aku pergi." Jawabnya sambil meringis. Lalu tanganku mendorong rambutnya dan melemparnya sambil tertawa lantang.
"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi, Lecha. Kau adalah milikku. Aku tidak menghambur-hamburkan propertiku."
Aku berjalan menjauh. Menyeruput anggur dingin di atas meja tunggal di tengah ruangan. Lalu akan menghampiri wanita Lecha itu ketika pintu ruangan terketuk dengan tergesa-gesa.
Kakiku menghampiri pintu ganda berkayu mahoni lantas menariknya membuka. Terlihat George yang kewalahan mungkin habis berlari menunduk hormat di hadapanku.
"Maafkan aku, Tuan. Tapi, ada sesuatu yang harus anda tahu." Katanya menatap lantai dengan rasa bersalah.
"Apa?"
"Seorang wanita datang, Tuan. Ia berkata ingin bertemu dengan ibumu. Aku bilang padanya bahwa mungkin ia salah rumah karena ia menyebutmu dengan panggilan Edward. Jadi--"
"Dimana dia sekarang?" Tanyaku memotongnya.
"Maafkan aku, Tuan. Aku baru ingat siapa wanita itu. Tetapi para pengawal tak ingin dengar." Sanggahnya tak menjawab pertanyaanku. Aku tidak hanya marah saat ini. Aku merasa murka. Dan yang ingin kulakukan adalah mencabik wajah George di hadapanku.
"DIMANA DIA SEKARANG?!" Teriakku membuatnya berjengit gemetar.
"Maafkan aku, Tuan. Pengawal sedang mengusirnya pergi. Tetapi, ia tak kunjung mematuhi. Jadi, sesuai dengan peraturan anda nomor lima, siapapun yang tak dikenal dan berusaha menerobos--"
"Kau membunuhnya?" Tanyaku kalap.
Situasi bodoh macam apa yang sedang ia bicarakan?
"Belum, Tuan. Aku kira dia belum mati saat ini. Tapi, sesuai peraturan anda nomor lima, sudah pengawal tenggelamkan dia, Tuan. Namun--"
Aku tidak mendengar suaranya lagi. Ku dorong ia hingga yang kurasakan sesuatu bagian yang keras dari tubuhnya membentur dengan sangat kencang. Lalu yang kuketahui adalah kakiku berlari menuju perairan dengan tidak sabarnya. Dengan jantung yang berdegup kencang dan perasaan sialan takutnya.
Sudah sekian lama aku tidak merasakan perasaan seperti ini dan aku tidak menyukainya. Brengsek! Bagaimana bisa aku sekalut ini.
Mereka tenggelamkan dia, katanya. Peraturan nomor lima!
Bah! Peraturan apa yang seperti itu? Mengapa aku membuat peraturan semacam itu? Aku menggeleng kepala.
Mana aku tahu bahwa yang akan datang adalah Katheline!
Biasanya yang datang hanyalah para pengemis tak berguna atau wanita murahan yang tolol.
Mana aku tahu 'kan?
Tapi, entah mengapa rasanya aku seperti manusia paling bodoh di dunia ini. Aku merasa bertanggung jawab hanya karena suatu hal yang aku anggap benar dan paling brialian di hidup ini.
Dan ternyata hal itu sungguhlah hal paling bodoh dan yang paling tidak masuk akal di semesta ini.
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Ficción histórica[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...