"Yang mana wajahnya dan yang mana topengnya? Mengapa aku merasa telah dibohongi oleh pria itu? " -H
"Kodokku tak terlihat lagi, Edward. Mereka pergi dan tidak setia padaku." Jawab Katheline tanpa ditanya sambil menari-nari di tengah padang rumput dengan tak beralas kaki.
"Sepertinya kau tampak senang sekali karena kodok-kodokmu kabur."
"Hal lain, Edward!" Serunya. "Oh hanya penguasa alam yang tahu betapa gembiranya aku hari ini. Bukan karena kodokku yang tak setia. Aku sedih mereka meninggalkanku. Namun, hal lain telah datang dan mengalahkan kesedihanku. Tapi, dimana kira-kira kodok-kodok itu sekarang?"
"Tentu saja mereka pergi. Mereka bukan patung. Mereka dapat melompat jauh, jika kau lupa." Decakku duduk tak jauh darinya.
"'Kan bukan patung saja yang bisa tetap tinggal." Ia diam sejenak. "Contohnya, kau." Sambungnya kembali melompat-lompat dan melangkah lebar dengan tidak warasnya.
"Aku?"
"Kau tinggal disini saat aku minta tinggal. Benar 'kan, Edward?" Senyum percaya dirinya merekah semaksimal mungkin.
"Salah." Jawabku membuatnya menghentikan kegiatannya. "Aku disini karena tak memiliki tempat lain."
"Benarkah?" Oloknya kembali menari mengibarkan gaunnya. "Tapi, aku tak menerima jawaban yang seperti itu. Aku akan lebih suka jika kau disini karena permintaanku."
"Suka-suka mulutmu saja." Jawabku lalu merebahkan tubuhku di atas rumput. Memandang langit cerah yang menyilaukan mata.
"Edward, ayo berdansa denganku." Ajaknya mengamit tanganku.
Aku langsung menepisnya dan menolaknya, "tidak mau."
"Kenapa?" Tanyanya terdengar hampir menangis. "Semua orang berdansa. Mengapa tidak mau?"
"Aku tidak melakukan hal semacam itu."
"Edward--"
"Kau boleh meminta apapun, Tuan Puteri. Tapi, tidak untuk berdansa. Aku tidak pernah akan mau melakukannya." Tolakku serius.
"Hamlet berdansa." Ucapnya pelan seakan hal itu dapat merubah segalanya.
"Kalau begitu, dansa saja sana bersamanya. Apa peduliku?"
Aku langsung menyesalinya secepat kalimat itu keluar dari mulutku. Katheline yang berdiri langsung ikut merebahkan dirinya disampingku. Tak ada suara lagi bahkan beberapa saat kemudian ketika aku tak tahu apakah aku harus minta maaf padanya atau bagaimana.
"Hamlet belum mati." Putusku setelah berpikir panjang apakah aku harus memberitahunya. Aku rasa ia berhak tahu akan hal yang satu ini. Namun ucapan yang datang selanjutnya adalah kalimat yang tak terduga.
"Aku tahu." Katanya mampu mematahkan leherku karena aku memutar kepalaku tiba-tiba.
"Kau tahu?"
"Iya. Semalam dia datang ke kamarku. Apakah ia juga datang ke kamarmu?" Tanyanya. Matanya memandang langit tanpa menoleh pada hal lain.
"Oh." Hanya itu yang dapat aku katakan tanpa menjawab pertanyaannya.
"Dia mengajakku pergi jauh, Edward."
"Hah?" Praktis aku terjengkang duduk.
"Iya! Ham-let me-nga-jak a-ku per-gi ja-uh!" Ulangnya dengan teriak mengeja seakan aku tak memiliki telinga dan tak mengerti bahasanya.
"Aku tidak tuli." Kataku kesal.
"Kau tadi mengatakan 'hah', 'kan?" Simpulnya. "Edward, jika kau mengatakan 'hah' dihadapan Tuanku, habis sudah kau. Betapa tak sopannya dirimu."
Aku tak memikirkan tata krama saat ini. Yang ada dipikiranku adalah Hamlet mengajak gadis ini pergi.
Adakah hal lain yang lebih tidak masuk akal selain ini?
"Apa tanggapanmu?" Tanyaku mengalihkan mataku pada rumput yang tak kusadari agak lebih panjang dari sebelumnya.
"Aku menyetujuinya. Ia akan menjemputku malam ini." Jawabnya. Sementara entah mengapa kelesuan datang menghampiriku tanpa sebab.
"Bagaimana dengan Tuan Sagrid?"
"Tuanku tidak boleh tahu. Mungkin ia akan sedih untuk sementara waktu. Tapi, ia akan baik-baik saja. Sementara Hamlet adalah hidupku, Edward. Aku akan sedih bukan hanya untuk sementara tetapi untuk selamanya."
"Tahu apa kau tentang akan sedih selamanya untuk pria itu? Kau 'kan tidak akan tahu masa depan." Kutemukan diriku tak suka melebihi apapun saat ini.
"Tapi, untuk yang satu itu aku cukup yakin." Katanya berdusta. Nadanya bahkan terdengar ragu di telingaku.
"Pahamkah kau apa yang kau lakukan? Resiko yang--"
"Aku cukup mengerti, Edward. Tapi, tidak apa. Ini 'kan tentang Hamlet, jadi apapun akan aku lakukan untuknya." Jelasnya membuatku bungkam.
Apa yang direncakan Hamlet, tanyaku dalam hati. Yang mana wajahnya dan yang mana topengnya? Apa yang berusaha ia katakan saat ia tak bisa mengatakannya?
Ada apa, pikirku. Mengapa aku merasa telah dibohongi oleh pria itu?
"Edward," ujar katheline. "Maukah kau ikut bersamaku?" Tanyanya membuatku menoleh menatap matanya yang teduh menatapku. "Kita pergi darisini. Mungkin Hamlet akan agak kesal. Tapi, seiring waktu ia akan baik-baik saja dan akan senang bahwa aku ternyata mengajakmu. Kau tahu? Sebenarnya, aku tak boleh mengatakan pada siapa-siapa tentang hal ini."
Aku terdiam sejenak. Memikirkan segalanya dan memutuskan hal yang berlawanan dari apa yang ditugaskan. Aku menemukan diriku memberontak. Dan aku tak peduli.
Baiklah, pikirku. Kita coba sejauh mana keberuntunganku kali ini.
Aku menghembuskan napas sejenak lalu berkata, "tidak, Katheline. Aku tidak akan pergi kemanapun." Tolakku lalu berdiri. "Silahkan jika kau ingin pergi. Tapi, jangan lupa bahwa kaulah yang menjebakku disini. Dan kini kaulah yang meninggalkanku sendiri." Sambungku lalu berjalan meninggalkan gadis itu yang terdiam bisu.
Bagus, kataku dalam hati.
Dengan kalimat itu, aku tahu bahwa aku telah memberikan alasan tersulit baginya untuk tetap memilih pilihannya.
Bagus jika begitu.
Jika ia telah mengatakan dan memutuskan semudah itu, aku dapat bernapas lega, bahwa kini pikirannya tak akan lagi sama setelah aku melangkah menjauhinya.
Jika ia pada akhirnya merubah pilihannya, pikirku. Aku akan senang, karena aku pada akhirnya telah memenangkan permainan ini dengan mudahnya.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...