"Tidak mungkin gunung telah lebur dan lautnya terkuras. Samudera tidak bisa habis dikuras." -H
Aula kota adalah tempat dimana rakyat Britania berkumpul. Pengumuman biasa di senandungkan di sana. Kabar bahagia karena memenangkan perang, kabar diadakan festival tahunan, bahkan kabar hukuman yang selalu menjadi minat rakyat yang begitu ingin melihat pemenggalan kepala, gantung, bahkan tembak mati.
Manusia yang biasa dihukum di sana adalah penjahat publik. Pencuri yang meresahkan warga, pemerkosa gadis muda, bahkan hanya ketika beredar kabar burung bahwa ia adalah seorang dukun.
Penjahat publik berarti manusia yang dicap nista dan harus dibunuh dengan gembira karena begitu dibenci oleh dominasi rakyat Britania yang senang bergunjing.
Sementara itu,
hari terlalu terang seakan matahari telah beranak menjadi dua. Kedua jarum jam sama-sama menunjuk angka duabelas. Lonceng bergema di sekitar aula yang membentuk lingkaran.
Mataku kusipitkan melihat gerombolan manusia yang kepalanya sama-sama mengarah pada titik di tengah panggung dimana seorang wanita pirang diberdirikan di sana.
Sorak-sorai suara tak henti terdengar. Ratusan massa begitu bahagia dengan algojo yang berdiri memegang pedang berkarat. Tidak sabar untuk melihat pedangnya diayunkan.
Jantungku langsung seperti kejatuhan palu godam.
Ku majukan lagi diriku untuk memastikan bahwa penglihatanku bukanlah ilusi semata.
Ku mengedipkan mata berulang kali. Memastikan lagi. Namun, wanita yang berdiri di sana memanglah orang yang sama yang kupikirkan kali pertama.
Katheline di sana.Di soraki banyak orang dan siap menjalani hukumannya. Penjegal telah berdiri di sampingnya.
Aku kalang kabut.
Apa yang ia lakukan? Mengapa ia berdiri di sana? Ingin di tebas kepalanya? Untuk apa?
Tunggu.
Apa yang telah aku lewati selama ini? Aku bertanya kemana saja diriku sehingga tidak tahu apa-apa?
Aku berteriak memanggil namanya, "Kathline!"
Tapi, yang keluar hanyalah deru kebisuan dan sorak dari mulut yang lain.
"KATHELINE!" Aku berteriak lagi. Namun, lagi-lagi hanya suara semilir yang diterbang angin.
Gila, namanya. Ini sungguh gila! Ada apa dengan manusia-manusia biadab yang mendorong algojo itu untuk memenggal kepala Kathline? Apa yang telah ia perbuat hingga di hukum di aula kota?
Ku perhatikan ia yang berdiri begitu pasrah memandangi setiap penonton di hadapannya. Gaun gelapnya menggantung di atas mata kaki. Rambut pirangnya dikepang. Kepalanya ditutup oleh penutup kepala. Matanya beralih memandangi papan berdarah di hadapannya. Tangannya terjulur menyentuh pusat kematiannya.
Aku berlari menembus pagar manusia yang begitu sulit kulewati. Mereka sekan bangunan kokoh yang telah disemen. Menghalangiku untuk mencapai panggung.
"Kathline!" aku berteriak lagi. Namun, tak ada yang bisa mendengar bahkan telingaku sendiri.
Kathline menundukkan tubuhnya. Menaruh kepalanya di tengah bunderan papan yang terbalut darah. Mulutnya berkomat-kamit merapalkan doa.
Tidak boleh!
Ia tidak bersalah!
Ia tidak bisa mati disoraki dan dihina semacam ini.
Namun, tak ada yang mendengar. Tak ada yang mememdulikan aku. Bahkan kuragui diriku benar berada di tempat ini. Tapi aku ada di sini. Entah bagaimana dan kenapa, aku berada di aula kota di siang bolong dan menonton hukuman yang tidak kutahu untuk apa hukuman itu. Aku bukanlah bayangan yang tak tersentuh.
Aku melotot. Algojo mengangkat pedangnya. Siap memotong leher Kathline. Lalu kemudian detik berlalu hingga sorak-sorai menjadi keheningan yang ambigu di kepalaku. Napasku tak beratur dan ketika pedang dijatuhkan,
aku merasa jiwaku lari.
Kabur meninggalkan diriku.
Langitku langsung gelap. Kedua matahari telah hilang diperadaban.
Aku seakan dihisap. Atau aku memang dihisap. Organ dalam tubuhku telah diaduk hingga rasanya begitu nyeri.
Tidak mungkin terjadi.
Tidak mungkin gunung telah lebur dan lautnya terkuras. Samudera tidak bisa habis dikuras.
Namun, yang berada di pandangan mataku tidaklah salah.
TIDAK!
Mataku langsung melihat gorden yang tertutup rapat dikegelapan. Kepalaku menoleh kanan-kiri memastikan bahwa aku tidak berada di aula kota. Aku berada di kamarku. Bermimpi bodoh yang begitu menyeramkan.
Hanya mimpi, aku memastikan diriku yang terbalut keringat.
Hanya mimpi, namun kemudian telingaku mendengar jeritan Kathline yang menusuk pendengaran.
Tubuhku langsung berlari keluar kamar dengan terburu-buru.
Ia tidak mungkin dipenggal 'kan?
Tapi, Kathline dalam bahaya.
Ketika menghampiri sumber suaranya, aku menumukan dirinya berdiri. Dengan Nonaku di sampingnya.
Kathline menangis dengan kepala yang mengarah pada kakinya.
Ada darah di sana. Darah yang mengalir dari atas kakinya hingga mengotori lantai.
Darah di sana dan jika perkiraanku tidak salah, pada akhirnya, mahkluk itu telah mati di dalamnya.θθθ
A.n : ilustrasi Kathline ada di mulmed yaa(:
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Tarihi Kurgu[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...