Chapter Four - Rules No.2

378 62 17
                                    

"Permintaan maaf adalah kebohongan. Memaafkan adalah kematian." -H

Begitu banyak peraturan yang berdasar pada prinsip sebagaimana aku hidup.

Tujuannya sebenarnya sederhana. Namun, terkadang yang sederhana itu menjadi masalah rumit yang kerap muncul untuk membangkitkan orang mati.

Contohnya, masa laluku.

Mereka mati, bagiku. Walau yang terlihat sejauh mata memandang kini adalah bangunan padat yang kokoh. Bukannya reruntuhan bekas lama tinggal.

Seperti yang kuduga pada awalnya.

Orang mati tak bisa dibangkitkan lagi. Aku percaya pada hal itu. Namun, tidak sama halnya dengan masa laluku yang mati. Atau, aku berusaha menepis jauh perkataan yang mengatakan bahwa masa laluku tak pernah mati meninggalkanku selama ini.

Mereka hidup dan bukan menghantuiku bagai hantu tak kasat mata. Mereka belum mati. Itu jawabannya.

Seperti saat ini.

Detik yang mengharuskanku menguras lebih banyak pikiran kelam yang mengingatkanku pada suatu hal yang harusnya kutinggalkan.

Mereka berteriak lantang. Pengecut yang menjerit pengecut. Berani-beraninya menghinaku dalam wujud tak terlihatnya.

Tiga pengawal itu berbaris rapi di tepi perairan sesaat mereka menyadari kedatanganku. Sementara mataku mulai mencari. Meraba, kalau bisa. Pada sosok yang tak seharusnya berada dibawah sana.

Jangan sampai mengapung, harapku. Aku harap tubuhnya belum sampai mengapung.

Saat selanjutnya yang kurasakan adalah tusukan tajam disetiap pori-pori kulitku yang menghantam air dingin itu. Lalu aku menyelam lebih dalam. Meraih sosok putih yang terlihat dengan mata yang memanas. Ku raih tangan kecilnya untuk membawanya ke atas. Namun, ia mendorongku jauh seakan aku adalah orang yang akan menyakitinya. Ia peluk tangannya dalam tubuhnya dengan begitu erat dan berenang lebih dalam. Menjauhiku.

Tunggu, apakah ia menjauhiku?

Gila!

Hal itu membuatku marah. Aku tak pernah ditolak dan tak pernah  mau merasakannya. Hingga yang terjadi adalah aku menarik paksa tubuhnya dan mencengkram lengannya untuk membawanya terus ke atas.

Sesaat napasnya pengap-pengap. Wajahnya pucat bukan main. Ku tekan dadanya untuk membantu mengeluarkan semua air yang ia telan. Katheline sontak langsung terduduk dan memuntahkan airnya. Tanganku membantu menepuk punggungnya sementara tangan yang lain terdiam.

Bukan karena keinginanku. Katheline menggenggamnya dan tak kunjung melepas eratannya.

Ku pandang ia sedemikian rupa. Ku pikirkan segala lontaran kasar yang akan keluar detik selanjutnya ketika yang keluar hanyalah kebisuan melihatnya begitu lemas dan tidak berdayanya.

Ku lambaikan tanganku yang tidak digenggamnya untuk memanggil pesuruhku.

"Bukan kalian." Kataku sesaat yang maju adalah salah satu pria yang mengenggelamkan Katheline. "Bukan kau juga, George. Kau ke ruanganku sekarang." Kataku lalu ia pergi. Aku mengangguk ketika yang datang wanita pesuruh yang berdiri tak jauh dari titik kejadian.

"Urusi dia." Perintahku membuatnya langsung tergerak untuk merangkul Katheline. Namun, tangan Katheline tak kunjung melepas milikku. "Katheline, aku akan marah jika kau tak pergi dari hadapanku sekarang dan tidak mengurusi dirimu."
Gadis itu lantas pergi dengan segala cara berusaha melirikku yang naik darah.

Aku marah padanya.

Ia sempat tak mau aku tolong. Maksudku, dimana pikirannya ketika yang dia lakukan justru berenang ke dalam?

Mau mati, aku bilang. Ia pasti mau bunuh diri.

Aku bangkit dan menatap satu-persatu pria yang menunduk kian lama kian rendah. Habislah mereka karena keinginanku saat ini adalah melenyapkan mereka dari dunia.

"Maafkan kami, Tuan." Ucap salah satunya dengan gemetar. "Kami tidak tahu siapa dia." Belanya.

Aku mendengus lalu berucap, "jika ia mati, apa yang harus aku lakukan pada kalian?" Tanyaku berangan-angan.

Mereka diam. Hanya terdengar suara nyaring jangkrik di malam yang kelabu saat ini.

"Kami mohon, Tuan. Maafkan kami." Ucap yang lain tak menjawab pertanyaanku. Lalu tubuhnya bergerak untuk bersujud di kakiku. "Kami tidak tahu dia seseorang yang berharga untuk--"

"Berharga!" Seruku. "Ia tidak berharga untukku. Namun, bukan berarti aku menginginkannya mati." Kataku meludah.

Sementara sisi lain meneriakkan suatu kalimat yang aku tahu akan aku lakukan detik ini juga untuk memuaskan apa yang harus kupuaskan.

Lagi-lagi perasaan itu muncul. Dan peraturan berdasar pada prinsip sebagaimana aku hidup kembali menuntutku.

Mereka berdemo agar aku tak mengkhianatinya. Mereka memintaku agar aku menurutinya dan menjanjikan bahwa aku akan hidup dalam kedamaianku sendiri.

Mereka tidak pernah merengek atau memohon seperti acap kali orang lain lakukan untuk meminta sesuatu. Mereka memerintah dan aku menyalahkan diriku sendiri karena tetap patuh padanya.

Peraturan nomor dua, gumamku dalam hati.

Permintaan maaf adalah kebohongan. Memaafkan adalah kematian.

"Kalau begitu," kataku. "Aku ingin lihat. Tenggelamkan diri kalian." Ucapku membuat ketiganya sontak hampir mengangkat kepala untuk protes. Namun, yang mereka lakukan adalah berjalan menuju tempat kematiannya dengan patuh.

Aku tersenyum bangga. Melirik diriku dengan puas dan berteriak kencang dengan senangnya. Aku menyadari beberapa hal yang aku yakini kebenarannya.

Pertama, betapa hebatnya aku.
Kedua, betapa berkuasanya diriku.
Ketiga, betapa tak terkalahkannya semua aspek dalam hidupku.

Dan aku menang lagi. Dan lagi dan lagi sampai langit runtuh lalu bulan mengempiskan dirinya sendiri dan lenyap dari peradaban.

°°°

A.n : Hallo! Alright, saya ingin menjelaskan sesuatu.

Kendall akan muncul tapi nanti. Fyi, akan ada tiga era di cerita ini. Kendall/Kenya akan muncul di pertengahan era dua memasuki era tiga. Belum bisa diprediksi muncul di chapter berapa. Nah, karena sekarang baru masuk era dua, jadi, mohon bersabar.

Tapi tenang aja, era dua dan tiga nggak akan sepanjang era satu. Menurut perhitungan dan angan-angan, mungkin cerita ini akan ending di total chapter angka delapanpuluhan.

Mohon diperhatikan bahwa kata itu bercetak bold dan underline, para pembaca. Jadi, bisa lebih dari itu atau justru kurang.

Nah! Garis besarnya, sudah setengah perjalanan! Semangat! Tungguin aja yaa.

Masalahnya, sekarang mulai bingung deh. Kalau Kenya mulai muncul, harus saya apain Katheline?

Menurut kalian gimana?
Apa saya matiin aja?

Alright, see you on the next chapter(:

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang