"Ia berpesan agar menguburkannya dengan tenang. Akan aku ajarkan darimana ketenangan itu berasal." -H
Sudah berapa lama aku disini, aku bertanya-tanya. Aku heran, mengapa aku tak bisa berpindah?
Suara yang seharusnya sudah melayang di angkasa kini masih terngiang di telingaku. Terjerat oleh sesuatu tak kasat mata hingga tak meninggalkanku barang seincipun.
"Bukan aku disini yang berdosa." Katanya saat detik kematiannya. "Bukan aku tokoh antagonisnya!"
Sementara kayu yang berdiri menjulang itu pada akhirnya menjadi vonis kematiannya. Tali besar yang diikat dan membentuk bulatan yang mencekik lehernya telah mengangkat tubuhnya yang tak lagi bernyawa dengan menyedihkan.
Hamlet tergantung. Kakinya tidak menepak pada dunia kotor yang baru saja ia tinggalkan. Wajahnya pucat tak semenawan biasanya. Dan yang aku lakukan adalah berdiri di hadapannya. Menengadah ke atas dan memperhatikan raut tidak berdaya sosok Hamlet yang dikagumi Emma. Bola mataku beku atau mungkin saja tak samasekali berkedip.
Semua unsur dalam tubuhku bahkan darahku yang seharusnya mengalir, kini seakan dikomando untuk diam. Sesuatu menyumbatnya. Menyumbat otakku, segala indera gerakku, seluruh tubuhku....
Dan aku tak mengenalnya. Mereka statis hingga entah sudah berapa lama aku berdiri disini sementara langit terasa sudah meninggalkan waktu tengah malam.Terdengar jeritan hebat di belakang bahuku. Namun, gema dalam telingaku tak kunjung bocor.
"Aaaaa!!!"
Itulah jeritan paling menjerit yang pernah aku dengar. Namun, aku tak menoleh. Bahkan tidak untuk sekedar menggerakkan jari tanganku yang kebas. Raungannya tak berhasil membuatku berniat untuk menyingkir, untuk bersembunyi, untuk sekedar menjauh dari mayat yang menggantung itu.
Aku penasaran, kataku. Sudah berapa lama aku berdiri disini?
"Edward!" Suara rengekannya teredam dibatasi dinding setinggi langit. Dinding yang tak ia lihat dan semu baginya namun teramat nyata bagiku. Dinding itu membatasi dunianya dan duniaku.
"Edward!" Suara itu berteriak seiring datangnya sesuatu yang menyentuh bahuku. Mereka menggoyangkannya sembari menepuknya kasar dan yang kurasakan hanyalah desiran angin ketika membayangkan jika aku yang digantung di atas sana.
"Edward, turunkan Hamletku! Mengapa kau diam saja melihatnya---melihatnya seperti itu?" Suara itu adalah suara pilu. Suara tersendat sesenggukkan yang dikeluarkan gadis itu dengan susah payahnya. Tangannya menggoyangkan kedua bahuku dengan kencang hingga aku merasa menemukan kesadaranku yang tertinggal.
"Katheline? Apa yang kau lakukan disini?!" Bentakku pada Katheline ketika telah menemukan jalan yang seharusnya aku tapaki.
"Turunkan Hamlet, Edward! Kasian dia." Rengeknya. "Betapa teganya Tuanku melakukan ini padanya! Aku sungguh dibuat terbelalak olehnya!" Sambungnya.
"Aku tidak bisa." Kataku membuat rengekkan Katheline berhenti tiba-tiba.
"Mengapa?" Tanyanya dengan nada sedemikian terlukanya.
"Aku tidak sampai. Itu terlalu tinggi. Lebih baik kau min--"
"Bagaimana ini?" Potongnya dengan kecemasan yang tinggi. Tubuhnya merosot dan jatuh terduduk pada tanah. "Bagaimana ini, Edward? Kasian Hamlet berada disana. Hamletku yang telah kusakiti hatinya! Aku menolak pergi bersamanya dan Tuanku beranjak keluar ketika ia menyadari keberdaan Hamletku. Tak ada pangeranku lagi, Edward. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku tak bisa---tak bisa menjalani hidup yang sepertj ini. Hamletku, Edward. Apa yang harus aku lakukan?" Ucapnya dengan gundah.
Detik selanjutnya yang aku bisa ingat adalah gadis itu yang tak berhenti bertanya, 'bagaimana ini?' Hingga rasanya sudah ratusan kalinya membuat desakkan marahku muncul begitu parahnya.
Apanya yang bagaimana, tanyaku dalam hati. Ia mati! Apanya lagi yang bagaimana?
Ku tarik napas dalam dan mengeluarkannya. Lalu berdeham mengendalikan suaraku yang ingin sekali membentaknya."Lebih baik kau kembali. Jika Tuan Sagrid tahu kau berada disini selarut ini, habis aku. Biar aku yang tangani Hamlet." Kataku jengah melihatnya sedemikian menyebalkanya.
"Aku tidak mau. Aku ingin bersama Ham--"
"Dengar, okay?!" Potongku kasar. "Jika Tuan Sagrid mendapatkanmu disini, berkeliaran seperti ini, bukan hanya Hamletmu saja yang digantung. Tetapi demikian juga aku!" Yang kudengar selanjutnya adalah suara teriakannya.
"Tidak!"
"Kalau begitu, kembali ke kamarmu. Atau apakah aku juga yang harus mengantarmu?" Yang ditanya menggeleng lalu tangannya mengusap air matanya.
"Urusi Hamletku. Kuburkan ia dengan tenang." Pesannya lalu pergi melangkah jauh.
Aku membalikkan badanku ke arah yang dituju. Ia mati. Namun, suaranya masih melayang dimana-mana.
"Bukan aku disini yang berdosa." Katanya. "Bukan aku tokoh antagonisnya!"
Peduli setan siapa yang seharusnya berdosa disini!
Dengan susah payah aku menggotong tangga kayu yang letaknya di Doomed Cubicle lumayan jauh darisini dan membawanya untuk disenderkan pada kayu tempat Hamlet mati. Melepaskan simpul talinya dengan susah payah dan memutuskan untuk memakai gunting rumput saja yang berarti aku harus kembali mengambilnya di Doomed Cubicle ketika aku tak kunjung berhasil melepaskannya.
Dengan waktu yang sepertinya sungguh lama akhirnya Hamlet jatuh berdebum tanah di bawahnya. Ku seret badannya bukan untuk dikubur seperti yang Katheline sarankan. Namun, untuk dibuang ke perairan terdekat yang jaraknya memang tak lebih dari seperempat jalan menuju Doomed Cubicle.
Ia berpesan agar menguburkannya dengan tenang. Akan aku ajarkan darimana ketenangan itu berasal.
Emma berada di perairan yang sama yang kini kutuju. Air yang sama. Hamlet mungkin tak pantas mendapat ketenangan. Namun permintaan Katheline tak bisa kuabaikan. Biarlah ia berada di ketenangan Emmaku, pikirku.
Aku yakin dan percaya. Karena hanya dari Emmalah ketenangan itu tercipta. Tak ada ketenangan lain. Bahkan pada kedalaman tanah enam kaki dari permukaan.
Jadi, setengah mati aku seret tubuh Hamlet yang sangat berat hingga kedua tanganku terasa mau patah. Ku dorong ia ke sungai agar kedalamannya menenggelamkan dirinya yang mengapung. Lalu kubiarkan air tenang perlahan-lahan membawanya jauh. Jauh hingga tak tertemukan seperti tubuh Emmaku.
Sangat jauh hingga yang ada hanya kenangan yang tersisa.
Tidak peduli bahwa seseorang tak bisa benar-benar meninggalkan dunia menyisakkan kenangan. Peduli setan, kataku. Aku tidak peduli jika suaranya masih harus terpental dalam gendang telingaku.
"Bukan aku disini yang berdosa." Kata Hamlet dengan suara datar dan monotonnya. "Bukan aku tokoh antagonisnya!"
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...