Chapter TwentySix - Faith

337 62 13
                                    

"Semuanya adalah area abu-abu yang tidak jelas harus menyondong kemana. Tidak ada yang benar-benar kuyakini saat ini.
Apakah aku telah kehilangan arah, tanyaku. Bahkan tidak meyadari telah kemana angin membawa jiwaku terbang.
Aku tidak lagi yakin apakah aku benar-benar berada di tempat tubuhku berada?" -H

Pagi menjelang dan matahari sedang merangkak naik di musim dingin menjelang semi seperti ini.

Meja besar di hadapanku penuh oleh makanan yang tidak semuanya akan aku makan. Sementara penjaga dan pelayan berjejer berdiri di samping mengikuti panjang meja. Aku duduk di posisi kepala sambil mengetuk-ngetuk jariku terhadap meja kayu di hadapan dan berpikir ada yang kurang di sini.

"Theo," panggilku tanpa menoleh. Pria terdekat itu langsung maju menghampiriku.

"Ada apa, Tuan?"

"Panggil beberapa budak untuk menemaniku di sini." Putusku setelah menimbang-nimbang. "Enam saja. Masukan juga Kenya Sharp. Terlebihnya terserah dirimu." Perintahku dibalas anggukkan.

"Laksanakan, Tuan." Katanya lalu pergi sebelum menunduk hormat.

Yang pertama datang adalah Kenya Sharp di temani Helga. Dirinya maju perlahan tampak ragu-ragu.

"Duduk," perintahku kasar menunjuk kursi di samping kananku dengan kepala.

Mataku memandang lurus ke depan tanpa teralih dan tidak berusaha melirik wanita itu yang menggoda di pandangan. Aku menutup mata sejenak. Aroma parfum yang disemprotkan pada tubuhnya sangat mirip dengan milik Emma. Aku tidak tahu bahwa istanaku mempunyai parfum yang sejenis ini.

"Nona," ujar Helga berbisik yang berdiri di belakang kursi budak Amerika itu. "Jaga matamu. Jangan menatap Tuan seperti itu. Berbahaya. Tidak sopan, Nona. Sudah aku ajarkan 'kan?" Bisiknya.

"Mengapa yang lain lama sekali?!" Bentakku lalu membuka mata mengalihkan pikiran dari budak di sampingku.

Theo kembali menghampiriku dengan menunduk lantas berkata,

"Mereka bersiap-siap, Tuan. Pakaian mereka tidak dalam kondisi baik. Mereka tidak akan membiarkan Anda menunggu lebih lama." Lapornya. Lalu aku teringat dimana aku menempatkan mereka semua di istana ini.

Sel ruang bawah tanah sialan.

"Mengapa kau menempatkan mereka di sana?"

Aku tertegun sejenak lantas menyadari pertanyaan datang dari mulut budak ini. Ku dengar desisan kalut Helga di belakangnya.

"Kau tahu dimana?" Tanyaku kini memandangnya pertama kali.

Riasannya begitu sederhana namun sungguh terlihat istimewa. Gaunnya adalah putih dengan lengan pendek. Rambutnya ia lipat begitu anggun. Tangannya berpangku pada pahanya. Duduknya begitu tegap tidak kalah dengan bangsawan wanita yang kutemui di perjamuan kota.

"Tahu, tentu saja. Kau menempatkan mereka di suatu sel yang letaknya di bawah tanah, 'kan?" Tebaknya. "Aku memang belum pernah ke sana. Tetapi, dari yang orang lain bicarakan aku rasa itu adalah tempat paling menyeramkan di dunia." Katanya sambil bergidik.

"Kau mengasihani mereka? Nasibmu nyaris sama seperti mereka, andai kau tahu."

"Aku tahu," angguknya. "Apakah aku perlu berterima kasih karena Masterku berbaik hati padaku?"

Aku tahu seharusnya aku sudah menyuruh Theo mengambil perekat untuk menutup mulut wanita ini. Namun, lagi, kutemukan diriku bertindak suatu hal yang tidak kukira akan aku lakukan.

Aku menikmatinya berbicara dan pun aku menemukan diriku menikmati menjawabnya.

"Apakah kau merasa tidak perlu berterima kasih padaku?"

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang