"Wanita itu adalah kekelaman yang harus kukubur dalam-dalam. Akan aku siapkan tempat terbaik baginya, kalau begitu." -H
Yang luput dari perhatianku kala itu adalah sikap Katheline.
Ia menyikapinya dengan santai. Terlalu santai hingga membuatku berpikir bahwa hal itu normal baginya, hal yang wajar bahkan hal yang tak perlu diambil pusing.
Memang sih awalnya ia tak berhenti menangis dan menjerit. Tetapi, hanya sebatas itu.
Gadis itu pastilah telah mengalami banyak hal yang tak aku ketahui.
"Aku tahu pastilah seperti ini." Gumamnya saat aku tak sengaja mencuri dengar. "Tuanku memang sangat marah pada Hamletku. Tapi Hamletku masih beruntung jika hanya digantung." Sambungnya dengan desisan pelan.
Sementara Hamlet kini sudah terasa beribu-ribu mil jauhnya. Sejak minggu awal, Katheline nampak begitu diam dari biasanya. Begitu tak bergairah hidup bahkan ketika aku mengajaknya menangkap kodok yang kukira dapat memulihkan kembali perasaan jeleknya alih-alih ia menolak dengan kalimat yang sama terus-menerus.
"Sedang tidak ingin, Edward. Aku hanya ingin membaca." Katanya dengan suara yang begitu kecil. Setiap hari ia habiskan waktunya di kamarnya atau di ruang membaca. Dan ia akan menghabiskan buku-buku dalam satu rak besar dalam seminggu jika saja aku tak begitu gigih menginterupsinya.
"Kau tahu tidak jika mata bisa pergi?" Ucapku saat itu menebarkan satu usahaku.
"Apa maksudmu?" Tanyanya.
"Jika kau pakai membaca terus, bisa-bisa bola matamu loncat meninggalkanmu."
Biasanya ia tertawa. Minimalnya, terkikik. Namun, yang diajak bicara menepis ucapanku seperti angin lalu dan ia akan mengatakan;
"Tidak lucu, Edward."
Aku tahu, ucapku dalam hati. Tak ada lagi lelucon bagimu saat ini.
Sementara selain itu, aku berusaha untuk memenuhi permintaan Tuan Sagrid mengenai wanita-wanita budaknya.
"Siapkan satu wanita." Begitu perintahnya acap kali ia pulang dari entah darimana dengan berkendara kereta kuda. Biasanya ia akan menerima wanita yang mana saja tetapi sekali-kali ia akan memberikan syarat. "Wanita berambut pirang." Katanya kala itu. Hal ini sudah menjadi permintaan biasa yang tak perlu lagi menejelaskannya secara rinci.
Jika Tuan Sagrid sudah berkata seperti itu, yang aku lakukan adalah menuju Doomed Cubicle bersama Losef, penjaga yang sebelumnya biasa kulihat berkeliaran di rumah besar pada malam hari.
Losef berperawakan tinggi dengan rambut pirang terangnya. Matanya sehijau air danau. Usianya mungkin tak terpaut jauh dari Hamlet. Namun, ia begitu pendiam. Penurut. Lain hal dengan Hamlet yang terlihat siap memberontak sewaktu-waktu.
Losef yang akan menangani wanita budak itu untuk diseret, dipaksa, atau hal apapun yang membuat mereka mampu berpindah puluhan kaki. Biasanya mereka memberontak. Namun, tak jarang ada yang berjalan tanpa berpikir karena toh aku rasa akalnya juga telah hilang.
Tuan Sagrid akan meminta budaknya untuk dibawa ke ruangan yang aku sendiripun tak bisa berpikir ruangan apa itu selain penyiksaan. Ada cambuk disana. Bermacam ukuran, bermacam bentuk. Dan budak itu biasanya akan keluar tiga jam sesudahnya paling lama dalam keadaan tak berbentuk.
Lalu yang dilakukan Losef adalah menguburkannya sembarangan. Aku tak begitu terkejut jika ternyata ada mayat yang dikubur di jalan setapak tempat aku berjalan tepat dibawah kakiku.
Pagi ini rutunitas yang harus aku lalui adalah menemani Katheline yang masih mendiamiku. Dia pasti sudah siap berada di ruang membacanya. Jadi, bukannya kesana, aku justru membelok ke arah pintu luar karena berpikir keberadaanku pun tak banyak pengaruh oleh Tuan Puteri itu.
Bayanganku berputar pada satu-satunya wanita tersisa yang berada di sel. Budak berambut coklat gelap yang tak bisa kualihkan perhatianku padanya. Sekali-kali kucoba untuk tidak meliriknya ketika harus memasuki bangunan itu. Namun, yang ada aku menemukan diriku berdiri tepat di depan selnya.
Aku tidak tahu apa yang aku cari pada wanita itu. Tuan Sagrid akan pulang nanti malam setelah pergi selama dua hari belakangan. Kemungkinan besar ia akan memanggil wanita itu karena sepertinya tak ada barang baru yang akan datang.
Bagus, kataku. Wanita itu adalah kekelaman yang harus kukubur dalam-dalam. Akan aku siapkan tempat terbaik baginya, kalau begitu.
Belum sempat sepatuku menginjak rumput, suara tinggi Katheline datang menerjang dari belakang.
"Edward!" Panggilnya. Aku membalikkan badanku melihatnya berlarian. "Mau kemana kau? Bukankah seharusnya kau menemaniku?" Marahnya. Aku diam sejenak sambil berpikir perubahan yang terjadi di awal hari ini.
"Apakah kau sudah baik-baik saja?" Tanyaku membuatnya menepuk bahuku lalu menarik tanganku.
"Ayo kita berburu kodok, Edward!" Ajaknya membuatku berpikir keras.
"Bisa tidak kita tidak melakukannya hari ini? Aku rasa aku sedang tak ingin melihat kodok." Pintaku. Yang aku herankan adalah ia setuju.
"Benar juga. Aku juga sudah mulai bosan dengan kodok. Tapi, aku ingin suasana luar setelah berada lama di ruang membaca. Ayo kita ke padang rumput saja!" Ucapnya tanpa menunggu responku langsung menarikku kencang memaksa mengikuti langkah kakinya yang berlari.
Kami menuju tempat yang biasa di lalui. Kakinya berhenti setelah melihat batu besar yang selalu menarik perhatiannya.
"Edward, bantu aku naik ke atas sana." Pintanya. "Aku tahu hanya orang tidak waras yang naik kesana. Tetapi, untuk kali ini saja, okay? Bantu aku naik." Mohonnya menunjuk batu besar berlumut yang bertengger dengan besar di sampingnya.
Aku menghembuskan napas kasar dan berucap, "aku panggil Losef dulu. Mungkin ia bisa membantu." Kataku pada akhirnya menuruti kemauannya. Namun, sebelum beranjak tanganku justru di tahan dengan miliknya.
"Jangan panggil dia." Cegahnya. Raut wajahnya yang ceria menampakkan ketidaksukaan dan--apa? Ketakutan?
"Memangnya kenapa?"
Ia menggeleng, "jangan. Aku tidak menyukainya. Lupakan tentang batu. Kita kesana saja." Katanya sembari menunjuk pohon besar di utara.
Katheline tak menarik tanganku lagi dimana ia selalu melakukannya jika mengajakku ke suatu tempat. Kali ini ia berjalan sendiri dengan lesunya. Sementara wajahnya menyiratkan bahwa ada pikiran lain di otaknya.
"Kenapa?" Tanyaku tak tahan. Sebagian besar aku berpikir ia akan menggeleng lagi. Namun, yang ada ia menghela napas dan berucap,
"Bukankah Losef menyeramkan, Edward?" Tanyanya lalu duduk di atas rumput. "Acap kali Tuanku harus membunuh, ialah kaki tangannya." Sambungnya membuatku menelan saliva. Perkataannya berikutnya membuatku ingin menarik saja pertanyaanku sebelumnya."Kau kini juga menjadi kaki tangan Tuanku 'kan?"
"Kenapa?" Hanya itu yang bisa kukatakan setelah ia berhenti lama menunggu responku.
"Hamlet juga kaki tangan Tuanku. Dan ia mati digantungnya."
"Hamlet mengkhianati Tuan Sagrid." Decakku. "Aku tidak akan mati. Karena aku tak akan pernah mengkhianatinya."
Katheline menatapku dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Tangannya menarik tanganku untuk duduk sejajar dengannya lalu menggenggamnya dan mulutnya mengucapkan sesuatu yang meninggalkan banyak tanya di otakku.
"Tidak apa jika kau harus mengkhianatinya suatu hari nanti, Edward." Ucapnya. "Tapi kali ini, aku tak akan membiarkanmu bernasib sama seperti yang lain."
Saat ini aku berusaha tidak melewatkan apapun. Sekecil bahkan jika hanya seinci dari raut wajahnya, dari cara bicaranya, bahkan sikapnya sekalipun. Tidak akan aku biarkan ada yang bisa luput dari perhatianku. Bahkan ketika aku rasa ada yang janggal disini. Ada yang salah, keliru, ada yang sedang tidak ada ditempatnya.
Tetapi, mereka terlalu cepat seperti angin lalu. Kelewat cepat hingga yang kutangkap hanyalah ketiadaan.Mereka semua menjadi tampak semu bahkan ketika yang dapat kuketahui adalah Katheline mendekatkan wajahnya perlahan dan mencium bibirku.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Tarihi Kurgu[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...