Chapter Twenty - Hate

347 58 8
                                    

"Satu kata itu mengingatkanku pada malam kelabu. Saat cerita itu dilantunkan dari mulut seorang wanita kelabu. Hingga berakhir begitu kelabu." -H

Kadang semesta memang bisa menjadi sebergurau itu.

Contohnya adalah ketika aku memasuki Pub DeBour dan melihat si Pak Tua Slager bersama si bangsawan baru Liam Sialan Payne.

"Apa yang kau lakukan disini bersamanya?" Tanyaku pada pak tua yang memandangku remeh lalu tertawa.

"Tenang, Styles. Tidakkah kau seharusnya berkata selamat malam untukku?" Katanya lalu meneguk minumannya. "Duduklah. Cerita utamanya akan segera datang."

"Apa maksudmu?" Tanyaku. "Aku tidak duduk dengan bangsawan baru." Tolakku.

"Woah!" Serunya mengangkat tangan. "Jangan menjadi sombong seperti itu! Bukankah kau juga bukan apa-apa?"

"Aku kira kau mengundangku untuk berbicara bisnis, Slager." Kataku memelototinya. "Tetapi, aku rasa aku keliru."

"Keliru!" Serunya. "Tidak, tidak sama sekali."

"Selamat malam, Tuan Styles." Sambut Payne dengan raut memperolok. "Bukankah bulan bersinar terang malam ini?"

"Usir jauh-jauh wajah rendahmu itu di hadapanku." Kataku kasar. "Jangan bicara padaku."

"Sudahlah," ujar Slager. Lalu memutar badannya menghadap DeBour. "Siapkan minuman, DeBour. Yang biasa," pesannya.

"Aku tidak mengerti. Jelaskan sesuatu padaku." Perintahku pada Pak Tua.

"Jujur saja, Styles. Aku tidak lagi mempercayaimu sepenuhnya untuk kali ini. Yang kemarin itu," tangannya melayang menunjukku. "Adalah yang terakhir. Aku tidak peduli seberapa buruknya perilaku kurir itu terhadapmu. Tetapi, bisnis tetap bisnis."

Aku memutar bola mata, "lalu apa maumu?"

"Mauku!" Serunya. "Marilah kita berbicara tentang kemauanku yang perlu kau patuhi." Katanya.

Aku mendengus. Patuh, katanya. Ia lupa bahwa aku tidak mematuhi siapa-siapa.

"Tuan Payne," ucapnya menunjuk pria berambut coklat sialan di sebelahnya. "Adalah rekan kerja baru kita."

Aku meludah dan berdiri lalu berkata, "aku tidak berkerja dengannya."

Slager menggeleng. Jarinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. "Mau tidak mau, aku sayangkan. Kau bawahanku. Kau mematuhiku."

"Aku tidak mematuhi siapapun. Jangan lupakan itu."

"Lupa!" Serunya. "Tidakkah kau begitu tidak rasionalnya, Tuan Styles? Bukankah kau yang lupa asal muasalmu itu? Aku tidak suka mengungkit. Tetapi, perilakumu membuatku ingin mengungkit dan menceritakan kembali dongeng indahmu tepat di depan wajahmu."

DeBour tiba-tiba datang membawa botol baru berikut dengan gelasnya. Tanganku langsung meraih botol itu dan menghempaskannya di lantai. Ku hiraukan rintihan yang gagal ditahan pria itu.

"Kau memang memodaliku. Tetapi, selain itu aku bekerja sendiri. Apakah kau pikir kau menyelamatkan hidupku? Aku rasa kau yang salah disini dan yang harus diingatkan. Kau tidak menyelamatkan hidupku. Kau tidak membersihkan kain itu, Slager. Kau yang menambah nodanya disana."

"Noda, Styles." Ucapnya manggut-manggut. "Aku rasa kita memiliki definisi lain tentang hal itu. Aku tidak memaksamu. Kau pernah mengecewakanku tetapi aku tidak lantas membunuhmu. Tidak seperti yang kau lakukan pada setiap bawahanmu. Karena aku tidak benar-benar menganggap dirimu sebagai bawahanku. Aku telah menganggapmu bagai anakku."

"Anak!" Ludahku. "Tidakkah aku yang salah dengar kali ini? Anak seperti apa yang kau anggap adalah anakmu?"

"Kau harus tahu batasanmu." Balas Slager dengan tenang. Aku benci ekspresi wajahnya. "Duduklah, Harry."

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang