"Aku tak tahu mengapa aku melakukan hal ini, tak tahu ada angin apa, mengapa aku mendekati orang yang sedang sekarat ini." -H
Aku tidak berhenti mencari pria itu. Menghampiri setiap ruangan dan seluk beluk rumah ini. Namun, dia tak ada dimana-mana.
Mengapa sekarang pria itu menghilang ketika aku akan membunuhnya?!
Dengan marah yang meluap-luap akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Menyusuri jalan pada malam yang kelabu.
Tidak bisa seperti ini, gumamku. Aku bisa mati berdiri jika rasa kelu nan pilu ini tak kunjung hilang.
Mengapa mereka tak pergi, tanyaku. Apakah sebetah itu mereka berdiam dalam jiwaku?
Jarum jam yang berputar rasanya terus menekanku hingga titik tak termaafkan. Aku tak bisa berlama-lama menggantungkan diriku pada ujung tebing. Tidak kuat. Aku tak akan mampu bertahan. Hingga mata kucing kini akhirnya menemukan anjingnya.
Sebutlah aku bodoh, aku tak merasa peduli. Aku pernah mengatakan bahwa jika ia membunuh ibu atau Emma, orang yang sungguh berarti untukku, ia akan mati di tanganku.
Aku akan menepatinya sekarang. Masa bodoh jika ia ayahku. Masa bodoh ia lebih tua dan lebih kuat daripada aku. Masa bodoh jika pada akhirnya justru aku yang harus mati.
Aku tak peduli saat ini.
Yang aku tahu adalah aku tak bisa menanggung perasaan tersiksa ini lagi. Jadi, aku bergegas menghampiri dia untuk menendangnya. Menghilangkan dia dari peradaban.
Namun, tiga orang lain ternyata sampai terlebih dahulu di tempatnya sebelum kakiku berhasil mendekat. Tiga pria asing yang tak pernah aku kenal.
Kejadiannya sungguh cepat hingga beberapa saat kemudian pemandangan yang kini kulihat hanyalah ayahku yang jatuh berlutut dengan tangannya menekan perutnya yang kuperhatikan tak berhenti mengeluarkan darah.
Ada apa, itulah yang pertama kali aku gumamkan. Namun, aku tak berniat mendekat. Tak berniat mencari tahu walau kini akalku mengatakan tiga orang asing itu menyakiti ayahku.
Sakiti saja dia, teriakku dalam hati. Sakiti dia seperti ia biasa menyakiti kami, seruku.
Seorang pria menggampar kepalanya hingga kini ia berlutut. Pria lain mengucapkan sesuatu yang tak bisa kudengar. Namun, rintihan ayahku tak meninggalkan radar telingaku.
Tak peduli jika ia kesakitan, pikirku. Aku senang ia merasakan apa yang kami rasakan, pada akhirnya.
Lalu tendangan bertubi-tubi membuat ayahku tak lagi tahan mengangkat kepalanya yang selalu ia kagumkan. Ia tersungkur di jalan yang sepi sambil mengerang.
Tiga pria asing itu pergi meninggalkannya begitu saja tanpa merasa bersalah telah melakukan hal buruk pada manusia.
Persis seperti ayahku setelah ia menyakiti ibu dan aku, pikirku. Sungguh mirip dia.
Sesaat, aku ingin kembali pulang ke rumahku. Tak peduli dia kesakitan disana dan hendak mati. Aku tak perlu mengotori tanganku untuk menyentuh kulit iblisnya.
Tapi, aku tak tahu mengapa aku melakukan hal ini, tak tahu ada angin apa, mengapa aku mendekati orang yang sedang sekarat ini. Aku tak tahu apa yang aku cari saat melihat matanya yang hijau sama seperti milikku. Tidak tahu apa yang aku rasa saat memandang wajah putih pucatnya yang tersiksa di hadapanku. Dan mengapa jemariku yang kecil berusaha menghentikan luak darah di perutnya.
"Harry, anakku." Bisiknya menahan sakit.
Matanya beradu memandangku lekat. Namun, hanya itu. Detik kemudian dari pandangannya yang dalam kini perlahan lenyap. Menggantikan sepasang mata yang memandangan kosong. Matanya yang dingin kini berubah menjadi beku. Tangannya yang mencengkram tanganku bergeduk jatuh. Dan ayah tak bergerak lagi.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...