Chapter Five - Hollow

339 61 15
                                    

"Aku memandangnya sambil berusaha melihat ekspresinya yang bermain-main. Namun, tak ada apa-apa disana selain ketidakwarasan." -H


Tiga hari yang lalu aku datangi rumah itu lagi untuk mengambil apa yang harus aku ambil. Namun, kala itu si pemilik rumah tak ingin bertemu denganku. Hanya pelayannya yang berambut pirang bernama Tauriel, jika tidak salah, menjamuku bagai saudara lama.

"Edward," ujarnya menyuguhkanku teh panas. "Lama tidak terlihat. Aku masih ingat saat tinggi badanmu hanya setinggi ini." Katanya sembari mengarahkan tangannya sebatas pinggang.

"Aku tak bisa banyak bicara, Tauriel." Kataku berusaha menghentikan kenangan tidak sopannya dengan sehalus mungkin. "Aku ingin mengambil wanita itu."

Tauriel berdiam lalu kemudian berbicara, "oh itu," katanya. "Nona Katheline sering membicarakan bahwa wanita itu adalah ibumu. Apakah benar?"

Aku menghela napas kasar kemudian bangun dengan tangan berdenyut.

"Tunjukan saja dimana dia berada." Kataku kasar lalu Tauriel langsung berjalan melihat respon defensifku.

"Nyonya tidak ingin pindah dari Doomed Cubicle bahkan setelah Nona Katheline terus membujuknya, Edw--maksudku, Tuan Styles." Jelasnya canggung.

"Kenapa?"

"Saya tidak tahu. Saya rasa, ada sedikit gangguan pada jiwanya." Katanya dengan sopan. Bukan sedikit, pikirku. Dia memang sudah gila. "Aku tidak akan heran, Tuan Styles. Doomed Cubicle itu memang tempat yang menyeramkan. Aku bertanya-tanya sampai sekarang, Tuan Styles. Terheran-heran dengan Tuan Sagrid." Katanya.

Langkah kakinya berhenti di depan bangunan yang ia maksud. Bangunan itu nampak sama setelah lima belas tahun. Hanya temboknya saja yang berubah wajar karena waktu. Tangan wanita itu merogoh kunci di sakunya. Lalu membuka gembok pintu kayu.

"Untung saja bangunan ini tak terpakai lagi. Tetapi, harus tetap dikunci, Tuan Styles. Agar aman." Katanya lalu mempersilahkanku untuk masuk.

Pada awalnya, aku tahu mungkin akan buruk. Tapi, aku tak menyangka akan seburuk itu. Kala itu, aku tak bisa memandanginya lama. Tidak tahu apakah karena terlalu bencinya aku padanya atau terlalu menyedihkannya dia.

Aku langsung pergi sambil meyakinkan Tauriel bahwa tuan puterinya telah tahu kedatanganku untuk mengambil kembali wanita busuk itu.

Sampai akhirnya pikiranku kembali lagi pada ruangan utama rumahku. Jariku mengetuk-ngetuk lengan kursi beludru merah.

Kepuasan melihat mati tiga pesuruhku langsung lenyap begitu saja ketika aku memikirkan kedatangan gadis itu.

Kenapa di datang jauh-jauh kesini?

Jawabannya mungkin akan terdengar ketika pintu lantas terketuk. Lalu wanita yang kuperintahkan untuk mengurusi gadis itu muncul.

"Nona Katheline Eyre datang, Tuan Styles." Ujarnya menunduk hormat lalu pergi membiarkan gadis itu melangkah masuk dan berdiri di hadapanku.

Tubuhnya tak lagi basah. Begitupun rambutnya. Pakaiannya sudah diganti dengan gaun cantik baru yang biasa dipersiapkan untuk budakku. Namun, pesonanya tak bisa dikubur setara dengan para budak tak berguna itu.

Katheline menundukan kepalanya dan tak berniat melihatku ketika yang ada aku menghampirinya dan mengangkat dagunya.

Matanya terpejam dan bibir ranumnya terlihat indah di pandangan. Aku menggeleng kepala, lantas berkata,

"Ada apa malam-malam kesini?" Tanyaku membuat matanya terbuka. Mata coklatnya bertemu dengan mata hijauku. Detik kemudian, terdapat air yang membendung di lingkaran bawah matanya.

"Edward," ucapnya lalu melingkarkan tangannya pada tubuhku. Aku tak berkutik ketika tangan mungilnya mempererat pelukannya. Biasanya aku langsung menepis kasar lalu mendorong jauh hingga orang itu tak bisa berjalan menjangkauku lagi.

Namun, ini berbeda. Aku merasakan diriku menolak dengan kebiasaanku. Menolak sisi liar yang mengatakan untuk menyakitinya sebelum ia menyakitiku.

Ia pasti akan menyakitiku 'kan? Seperti Emma. Tapi, yang kudapati saat ini adalah aku membiarkan ia menangis di dadaku. Tangannya memelukku. Dan mulutnya memanggil namaku.

"Edward, ayo kita menikah saja." Ucapnya sontak membuatku menjauhkan dirinya dariku. Aku memandangnya sambil berusaha melihat ekspresinya yang bermain-main. Namun, tak ada apa-apa disana selain ketidakwarasan.

Aku tahu, gadis ini aneh. Yang tidak aku ketahui adalah yang terjadi padanya selama limabelas tahun ini tanpa aku karena sikapnya tidak seperti Katheline yang aku kenal suka memburu kodok. Ini bukan sekedar kedewasaan, pikirku. Ia sudah berubah menjadi gila seperti saat ibuku yang juga berubah gila sebelum ia memilih hidup dengan pria busuk itu.

"Apa yang kau katakan?" Tanyaku membuatnya menghela napas lalu berjalan menuju balkon dan berdiri menatap langit.

Aku mengikutinya dan berdiri dua kaki di belakangnya. Sementara udara dingin menusuk tubuh membuat napas yang keluar mengeluarkan uap es.

"Kau menjemput ibumu." Nyatanya.

"Lalu kenapa?"

"Tidak apa-apa. Berita bagus, Edward. Aku senang kau melakukannya."

"Kau tidak menjawab per--"

"Rumahku akan dijual, Edward. Dan aku memiliki hutang yang tak bisa aku bayar bahkan dengan nyawaku." Potongnya.

"Jadi, karena itu kau bersikap aneh?"

"Aneh!" Sentaknya masih menatap langit gelap. "Aku tak tahu apakah sikapku ini aneh atau memang sikap aneh inilah normalku."

"Berapa hutangmu? Biar aku bayar." Tanyaku membuatnya menggeleng.

"Tidak perlu."

"Jangan munafik, Katheline." Kataku lugas. "Bukankah itu tujuanmu meminta untuk menikah denganku? Agar aku membayar hutangmu?" Ejekku.

Aku melangkah maju. Tanganku terangkat bertengger di kedua bahunya.

"Aku akan membayar hutangmu. Namun, kau tidak bisa menjadi istriku." Kataku membuat tubuhnya memutar menghadapku.

"Lalu apa? Bagaimana caraku membayarmu?"

"Mudah saja." Kataku tersenyum. "Jadi budakku. Itulah pembayaranmu." Jawabku membuat wajahnya sontak terdiam beku. Bukan karena udara yang dingin namun kalimat yang kuyakini menancap tajam pada ulu hatinya.

Ia akan menggeleng, pikirku. Atau mungkin menamparku lantas pergi dari hadapanku. Marah, paling tidak. Dan jika aku beruntung, ia tidak ingin lagi bertemu denganku.

Bagus, kataku dalam hati.

Aku harus menjauhi gadis di hadapanku ini. Dan aku merasa tak akan kuat jika aku sendiri yang melakukannya.

Jadi, yang ada aku terus mendorongnya menjauh. Mengatakan secara tidak langsung betapa berubahnya aku saat ini. Betapa iblisnya aku dan betapa ia lebih baik jauh-jauh dari kehidupanku sebelum ia menyesal mati di tanganku.

Biar dia yang menjauhiku, kataku. Biarkan aku terdiam sendiri menatapnya berpaling dan jijik dengan diriku.

Namun, aku salah. Bukan dunia jika ia mau menurut perkataanku. Karena Katheline lantas mengangguk sambil berucap,

"Baiklah jika itu maumu." Katanya. "Aku akan menjadi budakmu. Selamanya."

Kini, gantian diriku yang sontak diam membeku menatap raut keseriusan wajahnya.

Sementara angin terus berhembus kencang, organ-organ tubuhku terasa sudah lama menghilang.

Aku kosong seperti lubang dan gelap bagai dalam cangkang.

Aku terjebak dalam lembah.

Kemudian hitam.

Aku tenggelam dalam samudera terdalam...

°°°

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang