Suffer - Chapter TwentySix

337 57 7
                                    

"Ia membuatku berpikir jika bukan aku yang gila, berarti gadis di hadapanku ini yang sinting." -H

"Hamlet itu siapa?" Tanyaku di pagi keesokan harinya yang cerah ketika gadis ini datang dengan tidak sopannya dan membangunkanku dengan suara runcingnya. Menyuruhku menemaninya di bukit berselimut rumput tak jauh dari istananya.

"Hamlet?" Beonya. "Oh, itu."

Tangannya bertengger di bawah dagunya sementara rambutnya yang pirang terurai panjang menyapa punggungnya. Jika ia tak berbicara, semua orang akan mengatakan bahwa ia adalah puteri negeri sebrang yang sangat jelita. Tapi, tidak. Tidak ketika ia membuka mulutnya dengan suara bernada tinggi itu.

"Hamlet itu pengawalku. Kau tahu? Dia itu kuat. Badannya tinggi. Ia selalu melindungiku." Jelasnya. Matanya bergerak menatap langit. Namun, tiba-tiba ia menoleh memandangku di belakangnya. "Aku tahu kau itu tidak setinggi dirinya. Tidak kuat sama seperti dirinya." Katanya agaknya membuatku tersinggung. "Tapi, tidak apa Edward. Kau bisa--"

"Aku bisa melindungimu jika itu yang kau maksudkan. Tuan puteri tidak perlu khawatir!" Kataku dengan kasar. Diam-diam berusaha tak menambahkan, "Hamlet itu tak ada apa-apanya!"

Yang di ajak bicara justru tertawa. Tangannya terangkat menunjukku dengan jari telunjuknya. Membuatku berpikir jika bukan aku yang gila, berarti gadis di hadapanku ini yang sinting.

"Aku suka semangatmu yang menggelora." Jelasnya. "Pertahankanlah, Edward." Lanjutnya membuatku mendengus.

Kakinya melangkah lagi melewati beberapa batu besar yang bertengger di atas rumput. Batu yang melebihi tingginya itu yang dipandangnya. Lalu tangannya meraba pinggiran dan bersiap naik ke atas. Namun, gagal.

"Edward, bantu aku naik ke atas batu ini." Pintanya.

"Tidak bisa. Itu--"

"Tidak perlu mengatakan berbahaya. Aku suka yang bahaya, kau tahu?" Ujarnya mengerling bangga.

"Aku tidak pernah mengatakan bahaya." Jelasku mentah. "Kau lihat ini?" Tanganku bergerak menepuk permukaan batu itu. "Licin."

"Terus kenapa? Licin itu berbahaya?" Tanyanya agak bodoh membuatku sebal.

"Licin berarti, Tuan puteri," kutekankan setiap penggalannya. "Tidak pernah ada manusia waras yang menaiki ini."

"Kalau begitu, akulah yang pertama." Katanya dengan semangat tinggi.

"Tidak bisa." Jawabku membuatnya mengernyit. "Apakah kau baru saja mengatakan bahwa kau tak waras?" Sindirku. "Aku bilang tak ada manusia waras yang menaiki ini."

"Berarti kau harus naik," katanya. "Kau 'kan tidak waras."

Apa?!

"Apa maksudmu?"

"Iya. Kau selalu mengigau ketika tidur. Ibu, katamu. Atau Emma. Saat kau pingsan kemarin, dan saat aku membangunkanmu pagi ini." Jelasnya. "Aku harap bukan Emma si gadis Hamlet itu."

Gadis Hamlet, dia bilang.

"Apakah kau berbohong?" Tanyaku. Jelas tahu bahwa ia mengarang.

"Berbohong?"

Kakinya melangkah meninggalkan batu besar itu. Membiarkan rambut pirangnya diterpa angin. Lalu berhenti dan menghadapku yang samasekali tak bergerak seinci pun.

"Aku tidak berbohong." Jawabnya menggeleng kepala. "Aku juga pernah punya ibu yang selalu mengigau hal yang sama ketika ia menutup mata. Kata Tuanku, ibu sedang tak waras." Sambungnya. Ku perhatikan raut wajahnya yang kini lesu tak lagi sama dengan beberapa saat yang lalu.

Aku mengigau, katanya. Menyebut panggilan wanita busuk itu, dan Emma yang aku cintai.

"Salah dengar kau." Ucapku pada akhirnya setelah beberapa saat kemudian. "Aku tidak pernah melakukannya."

Aku berjalan berbalik arah berusaha untuk menjauhinya. Namun, yang dijauhi justru mendekat berteriak memanggil namaku.

"Tidak apa menjadi tidak waras, kau tahu?" Katanya setelah berada di sampingku. Langkahnya berusaha mengikutiku dengan cepat. "Ibuku tidak waras tapi dia hidup. Namun, setelah ia menolak makan, ia pergi."

Aku berusaha tak mempedulikan atau merasa simpati padanya. Bahkan ketika ia berusaha menarik perhatianku untuk berhenti sebentar. Aku ingin sendiri saat ini tanpa di temani oleh mulut cerewetnya dan ceritanya yang mengenaskan. Tidak perlu mengasihani orang lain karena mereka menderita. Hidupku pun lebih sengsara dari miliknya.

"Kau boleh tidak waras." Ucapnya. "Asal kau harus makan, Edward. Aku serius." Katanya lagi. "Jika tidak, kau akan sama seperti ibuku." Lanjutnya yang kali ini membuatku geram. Kakiku diam dan menghadap dirinya yang kaget melihatku berhenti tiba-tiba.

"Apakah kau paham arti tidak waras, hah?" Tanyaku kasar. Meninggalkan rasa kesopananku. "Aku tidak merasa simpati dengan hidupmu, kau tahu? Jadi lebih baik kau tutup mulut dan tinggalkan aku sendiri untuk saat ini!" Bentakku membuatnya terdiam dengan mulutnya yang tertutup rapat.

Lalu aku melangkah lagi menghentakkan kaki. Berusaha meluapkan segala amarahku yang entah mengapa datang begitu besar. Aku kira ia akan mengikutiku lagi dan tak mengindahkan perkataanku. Aku sudah siap memarahinya lagi.

Namun, setelah aku menengok dan diam-diam mengharapkan dirinya, yang terlihat hanyalah angin yang tak jelas keberadaannya.

###

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang