Cubicle - Chapter ThirtyFour

338 52 0
                                    

"Sisi lain itu membuatku berniat untuk berdiri dan memandangi wanita itu selamanya, dan itu saja sudah cukup." -H

Langit telah berubah warna. Cahaya yang datang tidak lagi membuat silau. Namun, yang dilakukan gadis itu tak berbeda dari jam-jam sebelumnya setelah aku menuruti kemauan anehnya berburu kodok untuk meredakan kesedihan yang terlalu cepat ditimbulkan.

Asumsinya masih sama. Pria dengan wajah tegas bermata biru itu mati. Aku hanya mengangguk-angguk saja acap kali ia bicara. Karena, sekalinya aku menyanggahnya ia akan menangis lebih kencang dari sebelumnya.

Sementara kodok buruannya yang benar-benar ia tangkap telah hilang entah kemana karena kekonyolnnya sendiri.

"Biarkan saja ia tak dikandangkan, Edward. Aku ingin tahu sesetia apa mereka padaku." Katanya sambil melepas satu persatu kodoknya di balkon utama bangunan ini. "Jika besok aku masih melihat mereka di tempat yang sama, mereka berarti setia benar padaku."

Aku menahan diriku untuk benar-benar berpikir bahwa gadis pirang ini tengah menuntut kesetian dari seekor kodok.

Salahnya sendiri kini kodok-kodok itu hilang secepat ia melepasnya. Tadinya, ia justru berniat memasukan mereka dalam rumah jika saja aku tak sibuk menolaknya mentah.

Hampir saja aku mengatainya sinting alih-alih bodoh. "Jangan bodoh." Kataku jengah melihat perilakunya. Aku sangsi ia sering melakukan hal segila ini.

Maksudku, siapa sih orang waras yang akan membiarkan belasan kodok untuk 'bermain' liar di dalam rumahnya?

Jika bukan otaknya yang terbentur, berarti dia memang telah kehilangan akal.

Dan kini pasti ia masih menangis di kamarnya. Kelopak matanya sudah tebal parah. Dan ia sama sekali tak peduli.

"Kau bicara saja pada Tuan Sagrid. Minta penjelasannya." Saranku kala itu. Tapi dibalas gelengan olehnya.

"Tidak bisa." Jawabnya. "Meminta penjelasan sama dengan meragukan keputusannya. Aku tak mau Tuanku berpikir bahwa aku mengkhianatinya." Dengusanku lebih keras kala itu.

"Bertanya bukan berarti mengkhianati." Kataku. "Sepertinya ia sayang padamu, kau tahu? Mana mungkin ia berperilaku kejam seper--"

"Kejam!" Serunya. "Edward tidak tahu apa-apa mengenai Tuanku yang baik."

Aku menghela napas pendek lagi. Sudah tak kuat aku melihat perilakunya itu. Jadi, yang kulakukan hanya berjalan meninggalkan kamarnya sambil berucap, "terserah otakmu saja."

Dan disinilah aku saat ini. Menatap langit di balkon utama dengan pikiran yang berkecamuk. Tuan Sagrid berada di ruangannya. Dan aku ragu untuk mendatanginya dan bertanya.

Apakah aku harus? Banyak hal mendesak yang tak kuketahui jawabannya. Dan aku percaya bahwa jawaban yang relavan hanya bisa didapat dari mulutnya.

Siapa dia, itu yang utama.

Namun, jika dipikir-pikir, betapa tak sopannya aku jika aku melakukannya.

Jadi, yang kulakukan justru lain. Kakiku melangkah sesuai kehendaknya. Aku tahu mau kemana mereka. Dan aku membiarkannya tanpa cela.

Pada akhirnya tubuhku ingin kesana setelah harus membantah kuat. Mataku ingin melihatnya. Sekedar memandang tanpa melakukan apa-apa.

Ku tatap bangunan yang terpisah dari rumah besar itu. Pintunya yang berwarna coklat agak terang jika dibanding pintu mewah kamar Katheline berdiri dengan rendahnya. Aku berusaha mendorongnya berharap kecil pintu itu tidak dalam keadaan terkunci.

Mungkin takdir memang mengirimku malam ini ke tempat yang tak seharusnya aku datangi. Karena ia menyuruhku masuk begitu saja tanpa hambatan besi yang menghalang.

Kakiku melangkah lebih dalam. Bangunan itu sunyi dan bau busuk sesesaat langsung menghampiri. Makin dalam, makin parah. Aku menutup hidungku dengan tanganku. Sementara otakku tak habis pikir ada manusia yang tinggal di dalamnya dan hidup dalam arti sekedar hidup.

Setidaknya, mereka bernapas walau melihatnya saja sudah seakan kematian telah menjemputnya namun belum bersedia mencabutnya.

Aku langsung memusatkan perhatianku pada sel dimana Hamlet meletakkan wanita itu.

Ia merunduk menghadap dinding. Aku tak bisa melihat wajahnya padahal itu alasan aku berada disini. Setiap detil yang bisa aku katakan hanyalah sel ini lebih mirip kandang hewan seperti yang pertama kali aku duga. Tak ada aroma manusia disini. Apalagi tanda akan kehidupan yang normal.

Kakiku tak beranjak menjauh alih-alih mendekatinya. Diriku diam lama dan hanya memandang tubuhnya yang kurus tak terurus.

Mengapa bisa ia berada disini dan seperti itu?

Tidak, gelengku. Ku sampirkan jauh pertanyaan itu yang kerap muncul sejak kali pertama melihatnya. Jawabannya hanya akan membawaku pada dua hal. Pertama, kepedulian. Kedua, simpati.

Dan keduanya sama-sama hal yang paling pertama kuhindari dalam daftar prioritasku saat ini.

Rasanya seperti tenggelam dalam mimpi buruk lama. Tapi, kini kesedihanku bercampur dengan amarah sarat pengkhianatan.

Ia telah mengkhianatiku!

Aku tak bisa lupa dan tak pernah ada niat untuk melakukannya. Aku tak perlu merasa simpati apalagi kasihan melihat gaun tidur kotornya yang tak terbentuk. Tidak juga perlu merasakan dorongan untuk mengelus rambutnya dan menenangkan pikirannya yang sudah diambang batas tak wajar.

Tapi, ternyata bagian lain tak mendukungku sekuat yang aku kira. Sisi lain yang entah berada dimana itu membuatku tak berhenti menatap. Tidak berhenti memandang wanita yang pernah sangat aku cintai.

Sisi lain itu membuatku berniat untuk berdiri dan memandangi wanita itu selamanya, dan itu saja sudah cukup.

Tidak!

Dia telah mengkhianatiku dan aku sama sekali tak terima pengkhianatan.

"Baik-baik disana." Kataku. Tahu bahwa otaknya terlalu sulit untuk mencerna apapun namun aku tetap mengatakannya. "Tersiksalah dan jangan mati dulu. Aku tak akan terima jika kau menyerah dan pergi seenakmu."

Yang diajak bicara tak merespon. Tangannya terangkat mencakar dinding di hadapannya.

"Baik-baik disana," kataku lagi. "Rasakan apa yang pantas kau rasakan dan aku akan hidup damai."

Aku merasakan gelombang dingin yang tiba-tiba saja hadir. Merasakan kepuasan yang tiada tara dan kelegaan hati yang salah. Namun, aku tak lagi harus menentukan mana yang benar dan salah. Karena aku hanya akan mengambil apapun yang menurutku mudah....

Tanpa mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Begitu naif dan bodoh sampai tak menyadari ada sepasang mata yang mengkutiku hingga saat ini.

Mencari sebuah celah. Mereka mencari sebuah jalan untuk membuat jalan. Namun, aku tak peduli. Tidak peduli sampai harus merasa bahwa tak masalah jika seseorang mau menancapkan panah tepat di dadaku sesering mungkin.

Tidak masalah.

###

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang