Hope - Chapter ThirtyTwo

353 57 3
                                    

"Sepertinya, keberadaanku disini saja sudah salah." -H

"Kau Styles?" Tanyanya sesaat kemudian setelah berhasil mengendalikan raut wajahnya yang terkejut bukan main. Aku mengangguk dan tidak bicara lagi.

Kami berjalan beriringan menembus pepohonan untuk mencapai bangunan besar milik Tuan Sigrid. Langkahan kaki menyuarakan daun kering patah dan gesekan rumput hijau.

Aku tidak merasakan desakan kemarahan yang pantas. Sejujurnya, aku justru menghela napas panjang.

"Terima kasih," kataku. "Karena telah membunuhnya." Sambungku membuatnya tak merespon apa-apa.

Hamlet diam di sampingku dengan ekspresi datarnya. Biarkan ia berpikir apapun tentangku, pikirku. Aku tak peduli.

"Mengapa begitu?" Tanyanya beberapa saat kemudian. Lagi-lagi aku menghela napas panjang. Mataku memandang mata birunya yang terlihat kelam segelap malam.

"Jika tidak kau, maka aku yang akan membunuhnya." Jawabku lalu melenggang pergi. Mendorong pintu tinggi dan memasuki aula besar utama yang menampilkan banyak lukisan di dinding dan benda lain bernilai seni tinggi.

Mataku terebut oleh sesuatu yang berdiri disana dengan cemas. Kuku tangannya ia gigit dan pandangan matanya hanya terpaku pada lantai. Deritan pintu membuatnya mengangkat dagu dan menyadari keberadaanku. Kakinya membawanya mendekatiku sementara aku hanya berdiri diam sambil tak tahu harus melakukan apa.

"Dimana Hamlet?" Tanya gadis itu gundah.

"Di luar." Jawabku sekenanya.

"Hamlet, kau di panggil Tuanku." Beritanya sesaat pintu terayun kembali dengan memunculkan Hamlet. "Aku rasa Tuanku sedang marah besar." Sambungnya.

Tangan Hamlet bergerak mengelus rambut pirangnya. Matanya telah berubah menjadi teduh sarat ketenangan.

"Kau baik-baik saja 'kan, Kath?" Tanya Hamlet.

"Bukan aku yang menjadi persoalan, Hamlet. Tapi dirimu! Aku tak yakin kau akan kembali hidup-hidup. Tuan sangat-sangat-sangat marah besar!" Jelasnya lagi namun tak merubah apapun pada ekspresi Hamlet.

"Tidak perlu cemas. Semua itu urusanku. Lebih baik kau ke ruang membaca, atau kamarmu, atau dimanapun kau suka."

"Sayangnya, tak ada tempat yang sedang aku suka saat ini. Jiwaku sedang khawatir, tidakkah kau mengerti? Kau harus berjanji kau akan baik-baik saja, Hamlet." Ucap gadis itu membuatku muak namun Hamlet membalasnya dengan anggukkan dan senyuman di wajahnya.

"Apakah dia tak memanggilku?" Tanyaku. Sedikit berharap ia mau menjelaskan apapun.

Gadis itu menggeleng sebagai jawabannya dan berucap, "bersyukurlah kau tidak dipanggilnya. Kau tidak melakukan apa-apa yang pantas membuatmu dipanggil 'kan, Edward?" Tanyanya skeptis.

Aku diam. Apakah aku berbuat salah, aku tak tahu. Dua orang biadab yang tak bisa kusebut orang tuaku ternyata memiliki hubungan dengan Tuan rumah ini. Hubungan yang buruk, jika bisa aku tambahkan. Tidak tahu seburuk apa.

"Sudah malam, Kath. Lebih baik kau tidur." Kata Hamlet yang dibalas gelengan.

Hampir saja aku berhasil pergi dari mereka ketika gadis itu justru menahan lenganku.

"Kau juga, Edward. Hati-hati pada Tuanku. Jangan melakukan hal yang pantas membuatnya marah." Peringatnya dengan serius.

"Apakah menurutmu aku akan melakukan hal yang salah?" Tanyaku tersinggung.

"Aku tidak tahu." Jawabnya. "Bukankah apapun dapat menjadi mungkin?"

Aku tidak suka gadis itu seperti ini. Biasanya ia mengucapkan hal tak berguna. Namun, sekarang tampaknya ia telah kehilangan selera humornya.

"Dia terlihat baik-baik saja, tadi." Sanggahku mendapat gelengan Katheline.

"Ia marah besar, Edward. Aku mendengar teriakannya yang menggema hingga ruang kamarku dan bantingan benda ketika aku berjalan menuju ruangannya." Jelasnya. "Ini kedua kalinya aku mendengar Tuanku seperti itu. Dan yang pertama sangatlah buruk." Lanjutnya diakhiri senggukkan. Hamlet masih mengelus rambut pirangnya pelan.

"Aku tidak akan melakukan kesalahan apa-apa." Ucapku dengan ragu.

Sepertinya, keberadaanku disini saja sudah salah.

"Kau harus tidur, sekarang. Aku tak lagi menerima sanggahan!" Seru Hamlet tiba-tiba dengan suara yang lebih keras membuat gadis itu tersentak. Lalu ia mengangguk seperti tak ada pilihan lain.

Hamlet berjalan menaiki tangga menuju ruang si Tuan rumah tanpa ragu dan aku berniat pergi ketika gadis itu memanggil namaku.

"Temani aku, Edward. Aku tidak mau sendirian." Katanya menarik tanganku mengikutinya menuju ruang kamarnya yang besar.

Namun, ia tak bergegas menuju ranjang alih-alih membuka pintu ganda yang meluncurkannya ke balkon. Di tariknya aku mengikutinya dan berdiri di sana. Gadis itu diam sejenak. Matanya menatap langit kelam tanpa bintang yang menghiasi angkasa.

"Di kehidupanku selanjutnya, aku harap aku tak seperti ini." Katanya membuatku mengernyit.

"Apa maksudmu?"

"Tinggal di rumah besar. Di tinggal ibuku mati. Tuanku memang baik! Tetapi aku ingin memiliki orang tua dan hidup normal." Jelasnya.

Apa-apaan? aku memiliki orang tua, tadinya. Tapi hidupku tak normal.

"Bukan itu. Kalimatmu yang mengatakan; di kehidupan selanjutnya."

"Oh itu." Katanya. "Iya, tentu saja
Di kehidupanku selanjutnya. Saat hidupku yang ini mati. Dan akan kembali di lahirkan. Kau tahu? Reinkarnasi."

"Aku lupa kau masih anak kecil."

"Maksudmu?"

"Kau percaya dongeng. Reinkarnasi 'kan hanya mitos." Jelasku membuat mata gadis itu teralihkan kepadaku.

"Menurutmu seperti itu? Aku percaya reinkarnasi." Ucapnya cemberut.

"Karena itulah," kataku. "Kau masih anak kecil."

"Aku anak kecil, berarti kau juga. Kita 'kan seumuran." Katanya dengan suara melengking.

"Apakah kau tidak bisa bicara agak pelan. Telingaku disini, kau tahu," aku menunjuk telingaku. "Bukan di langit."

Ia tertawa lalu menggumam, "maaf."

"Mengapa semua orang mengaitkan anak kecil dengan umur? Bukankah itu suatu kondisi dimana cara berpikir seseorang yang menjadi penilainnya?" Kataku membuat gadis itu terdiam.

"Aku tidak mengerti." Katanya setelahnya.

"Aku tahu." Ujarku. "Kau 'kan bodoh. Pantas tidak mengerti." Sontak aku merasakan pukulan di lenganku.

"Tidak sopan mengatakan hal seperti itu pada gadis secantik aku!" Serunya tak terima. "Terserah apa katamu. Aku tetap percaya bahwa kita dapat hidup kembali. Reinkarnasi bukan dongeng atau mitos seperti yang kau katakan. Pikiranmu hanya diperuntukan untuk orang yang tidak memiliki harapan." Katanya membuatku diam.

Tidak memiliki harapan, katanya. Entah mengapa kalimatnya bagai pisau yang menusuk kalbu.

Benar sekali, Katheline. Aku tak lagi memiliki harapan, jika kau ingin tahu.

Harapanku pergi. Ia telah terbang bersama gadis yang terendam.

###

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang