"Sekian lama aku meyakinkan diriku bahwa aku hanyalah burung tak berguna." -H"Kau darimana saja? Aku sudah mencarimu dari tadi." Ucapku ketika melihat Emma muncul di belakang bukit samping rumahnya.
Aku mencarinya sejak aku terbangun. Biasanya, mulutnya sudah cerewet di ruang makan. Namun, hanya William yang aku temui sedang menyiapkanku roti panggang. Dan kulihat ia akhirnya muncul. Setelah lebih dari setengah jam aku menunggu di beranda rumahnya.
Seperti biasa, ia berjalan dengan cerianya. Tersenyum padaku dengan mata berbinar. Rambut coklat kayunya tergerai kadang tertiup angin di pagi hari ini. Sementara tangannya menenteng sebuah keranjang.
"Pagi, Harry!" Sapanya. "Ayo, kita kesana!" Ajaknya membawaku ke bawah pohon rindang duapuluh kaki dari sini.
Aku mengikutinya. Membiarkan tanganku ditarik oleh tangan lembutnya sambil menahan senyum selama perjalanan. Ia lalu duduk di rerumputan dan membuka keranjangnya. Hingga kulihat beberapa bunga dengan tangkainya ia keluarkan darisana.
"Kau lihat ini? Aku memetiknya." Ucapnya bangga. Lalu meraih ranting kecil yang pertama ia lihat tergeletak di rumput. Tangannya dengan lihai menyatukan beberapa tangkai itu menjadi satu kumpulan dan mengikatnya dengan ranting. "Untukmu," ucapnya menyodorkan sebuket bunga itu padaku.
Dengan ragu, aku mengambilnya. Sambil bingung dan bertanya-tanya mengapa ia memberikanku bunga yang tak memiliki fungsi ini.
"Untuk apa bunga ini?" Tanyaku sambil melihat-lihat dengan teliti. Warnanya terlalu cerah untukku, pikirku. Aku tak menyukainya.
"Kau simpan saja. Kau tahu? Kenang-kenangan dariku." Mendengar ucapannya aku langsung mengembalikan bunga itu lagi padanya. Hampir melempar.
Aku berjanji padanya akan kembali kerumahku lagi. Bukan berarti aku tak akan bertemu dengannya.
"Kenang-kenangan apa? Aku tidak butuh itu." Kataku mendengus.
"Jangan lempar bunga ini. Kau tak menghargai jerih payahku?"
"Jerih payah apa? Kau 'kan hanya sembarang mencabutnya." Emma langsung cemberut sesudahnya.
"Yasudah, jika kau tidak mau, akan aku berikan pada Hamlet." Ucapnya. Tangannya memperbaiki bentuk bunganya itu dengan hati-hati.
"Hamlet siapa?" Tanyaku tak suka.
"Kekasihku. Memangnya kenapa?" Ucapnya membuatku terdiam sejenak. Emma masih sibuk merapihkan bunga itu. Seakan-akan ingin memberi hal istimewa untuk penerimanya.
"Kau memiliki kekasih?" Ucapku entah mengapa yang keluar adalah nada yang begitu muram.
"Tentu saja. Mengapa tidak?"
"Seperti apa orangnya? Apakah lebih tampan dariku?" Aku banyak tahu bahwa wanita lebih menyukai pria tampan.
"Tentu saja. Ia lebih tampan dan mengerti cinta." Ucapnya dengan mata berbinar memandang jauh pada langit biru.
"Aku juga mengerti cinta!" Sanggahku hingga merasa harus berdiri untuk memperjelas ucapanku.
"Tidak. Kau tidak mengerti. Kau bilang cinta itu seperti virus mematikan, 'kan?" Katanya sambil menggeleng.
"Tidak lagi." Ucapku memandang wajahnya yang kini sejajar denganku. Aku tidak bisa membiarkan Emma jauh dariku. Tidak akan.
"Lalu apa?" Tanyanya. Aku diam lagi. Memikirkan apa yang harus aku ucapkan.
Apa yang aku pikirkan tentang hal yang satu itu?
Kehidupanku jelas jauh dari sana. Namun, aku mengetahui apa yang baru aku rasakan terhadap Emma. Jantung yang berpalu kencang, rasa bahagia dan keinginan untuk melindunginya. Keinginan untuk terus bersamanya dan membuatnya tersenyum karenaku....
"Cinta itu," aku berusaha menelan salivaku. Menemukan diriku begitu sulit untuk menjelaskan semuanya. "Seperti menemukan hal yang tersembunyi. Pengingat bahwa aku masih memiliki sayap dan aku dapat terbang. Setelah sekian lama aku meyakinkan diriku bahwa aku hanyalah burung tak berguna." Jawabku. Mataku tak lagi melihatnya namun rumput yang kuinjak. Namun, setelah menunggu tak ada suara tanggapan, aku memberanikan diriku melihat Emma.
Tersenyum dengan bibirnya yang indah. Tapi, ada yang salah dengan matanya. Karena, ia menangis.
"Kenapa menangis? Apa aku mengatakan suatu hal yang salah?" Tanyaku takut.
Emma menggeleng kuat dan tangannya menarik tubuhku kepelukannya. Jika dihitung-hitung, ini sudah kedua kalinya ia memelukku dan aku tak keberatan dipeluknya hingga berjuta-juta kali.
"Kau itu anak yang baik, Harry. Kau harus jaga terus ibumu." Ucapnya menepuk-nepuk punggungku. "Kau mendengarku 'kan?" Tanyanya setelah melepas pelukannya.
"Aku akan menjaganya." Janjiku. "Dan menjagamu." Emma langsung menggeleng.
"Tidak perlu. Aku tidak dalam bahaya, kau tahu? Lagipula, aku ini kuat bagai Dewi." Ucapnya dengan senyum manisnya.
Tangannya lalu meraih sebuket bunga di sampingnya. "Jadi, kau mau menerimanya tidak?" Tawarnya. Namun, kali ini dengan tak ragu aku langsung merebutnya dari tangannya.
"Milikku tak akan pernah menjadi milik orang lain, wanita. Bahkan sampai Britania harus mengemis kejayaan sekalipun."
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Fiction Historique[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...