"Ia mampu membuatku berlutut dan menyerahkan hidupku padanya." -H
"kau tidak bisa mencintaiku. Kau lebih muda jauh dariku. Dan Shakespeare pernah berkata bahwa beberapa cupid membunuh dengan panah, yang lain dengan perangkap. Kau mau membunuhku dengan apa, Harry?" Kata Emma dengan muram. Aku mengerutkan keningku. Bingung maksud perkataannya. Lalu sesaat kemudian ia tertawa. Tertawa kencang hingga mampu membuatku ingin menutup kedua telingaku.
"Emma, kau tidak gila 'kan?" Tanyaku agak takut. Emma masih tertawa dan kini tangannya bergerak menepuk-nepuk bahuku. "Emma," rujukku ngeri.
Apakah sebuah perkatan mampu merubah kondisi kejiwaan seseorang?
"Aku tidak jadi mencintaimu." Ucapku membuat ketawanya berhenti.
"Loh, kenapa?" Tanyanya.
Apa maksudnya kenapa?
"Kau gila gara-gara aku mencintaimu. Aku tidak bisa melihatmu gila." Jawabku membuat Emma kali ini justru hampir menangis karena tertawa.
Ada apa dengan wanita cantik ini? Pikirku.
"Demi Britania, Harry!" Serunya. Lalu bangun dan berjalan meninggalkanku.
Dengan sigap aku langsung mengikutinya. Membuntut Emma di belakangnya.
Sementara matahari yang sedikit mencolok membuat mataku sakit. Tapi, tidak dengan rambut Emma. Rambut coklat kayunya bersinar bagai malaikat membuatku tak bisa berhenti memandangnya.
"Apa maksudnya?" Tanyaku sesaat kemudian ketika cahaya matahari tak bisa menembus pohon.
"Maksud apa? Perkataanku?" Tanyanya tak memberhentikan langkahnya. Aku menggeleng, namun tahu bahwa ia tak melihatku.
"Bukan, wanita. Sikapmu." Jawabku. "Sikapmu membuatku bingung." Lanjutku membuat Emma berhenti dan berbalik menghadapku.
"Maksudnya adalah kurasa kau belum paham betul apa yang kau ucapkan."
"Kenapa? Apakah karena aku tujuh tahun?" Tanyaku agak tersinggung.
"Itu," jawabnya. "Dan kau masih harus memperbaiki situasimu." Lanjutnya. Aku mengerutkan kening tak mengerti.
"Situasi?"
"Ibumu." Jawabnya seakan-akan itu jelas. "Aku serius mengatakan kau harus kembali ke rumahmu, Harry."
"Wanita, kau ini sangat cerewet. Kau sedang tidak mengusirku dari rumahmu secara halus 'kan?" Kataku marah.
"Tentu saja tidak, Demi Perwira Britania!" Serunya. Tangannya memegang kedua bahuku tegas. "Dengar, Harry. Kau harus kembali ke rumahmu. Jika kau butuh aku, kau tahu dimana harus menemukanku." Katanya. Lalu ia mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi tubuhku. Kurasakan sesuatu yang lembab mengenai pipiku. Tak sengaja aku menutup mataku dan kemudian ketika membukanya, hanya ada warna mata itu. Mata yang berbinar dengan keindahan dan kehangatan. Mata hijau yang akan berubah biru jika terkena sinar yang terang. Mata yang mampu membuatku merasa terlindungi dan aman, pada saat ini.
Tidak akan terjadi hal yang buruk jika bersamaku, kesannya saat itu.
Dan aku percaya pada sorotannya. Pada tangannya yang masih memegang bahuku. Pada senyumnya yang manis dan pesonanya yang mampu membuatku bertekad untuk melindunginya hingga mati.
Pesonanya, yang membuatku sejenak berpikir bahwa aku adalah manusia paling bahagia di dunia. Untuk sesaat yang sangat mengesankan. Dan sesaat yang sangat menipu. Namun, rasanya aku tak lagi peduli mana yang benar dan salah.
Tidak peduli.
Walaupun ia mampu membuatku berlutut dan menyerahkan hidupku padanya.
Aku tidak peduli.
Akan aku jatuhkan diriku sedalam-dalamnya, jika perlu.
Aku tak lagi peduli.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...