"Aku rasa aku harus tetap mempertahankan moral yang tersisa. Setidaknya, bertindak hormat pada apa yang pantas dihormati." -H
Familier, wajah Hamlet itu. Sejak awal aku melihatnya, ada suatu hal yang mengingatkanku pada postur tubuhnya. Tak tahu siapa dan tidak tahu dimana aku pernah melihatnya sebelum pagi tadi.
"Hamlet, ayo!" Ajak Katheline sembari menarik lengan pria yang matanya tak beralih menatapku ketika ia menyadari keberadaanku. "Akan aku kenalkan pada pengawalku sekaligus temanku." Katanya dengan semangat menggebu-gebu.
Dalam diam, aku menahan mulutku untuk berkata, "kau bukan temanku." Tapi, kuurungkan karena Katheline terlihat amat menikmati tampil luar biasa di hadapan Hamlet. Tingkahnya tadi yang terlalu ribut diubah menjadi wanita anggun dengan tata krama tinggi.
"Edward, pria tampan di sebelahku ini Hamlet. Pengawal dan kekasihku." Ucapnya tersenyum lebar namun masih dalam batas liarnya.
Bukan, ucapku dalam hati. Mereka bukan sepasang kekasih. Tapi, pria yang masih menatapku ini membiarkannya berasumsi seperti itu.
Jahat sekali.
"Hamlet, ini Edward. Dia--"
"Bukankah kau anak laki-laki yang tadi bertemu dengan William?" Potong Hamlet dengan tak sopan. Suaranya berat. Tak kalah berwibawa dengan si tuan rumah. Lagi-lagi aku merasakan desakam ingatan yang kabur.
"Iya. Memang kenapa?" Jawabku tak kalah kasar. Dari pertama mendengar namanya terucap di bibir Emma pun aku sudah tak menyukainya.
"Bukankah namamu Harry?" Tanyanya lagi.
"Iya. Memang kenapa?" Ku angkat daguku untuk menatap matanya menantang.
"Mengapa Katheline memanggilmu Edward?" Mulutnya bergerak tak suka.
"Apakah itu urusanmu?"
"Tentu saja!" Serunya pongah. "Kau memiliki dua nama. Aku patut curiga karena aku penjaga disini. Keamanannya adalah tanggung jawabku."
"Apa maksud--"
"Tidak perlu bertengkar." Potong Katheline menyadari nada tinggiku. "Edward, tak perlu marah-marah. Hamlet 'kan hanya bertanya." Katanya membuatku manatapnya geram dan mendengus kesal lalu pergi meninggalkan pasangan lakon drama itu.
Di belakangku aku mendengar gadis itu berucap, "Hamlet, apa yang kau lakukan? Dia 'kan temanku."
Aku bilang aku bukan temanmu, gumamku. Namun, keburu membuka dan membanting pintu di belakangku.
Aku bukan penjahat, pikirku. Tidak seperti dia.
Bukan berarti aku memiliki masalah jika harus menjadi penjahat. Penjahat hanyalah bentuk kata kiasan lain yang lebih kasar dari penindas. Lebih baik menjadi penindas karena tak ada cerita jika aku menjadi yang tertindas.
Aku akan memastikan takdir tak menuliskan alur itu pada hidupku.
Aku melihat keberadaan tuan rumah tak jauh dariku, setelahnya. Dengan agak bersalah karena membanting pintu yang pastilah didengarnya, aku menghampirinya dan menunduk hormat. Meminta maaf karena berlaku tak sopan di rumahnya.
Tuan itu telah membantuku. Ia menolongku yang tergeletak di jalan. Memberikanku makan. Bahkan tempat tinggal. Aku tak bisa lupa. Dan tidak akan menjadi berengsek.
Meski begini, aku rasa aku harus tetap mempertahankan moral yang tersisa. Setidaknya bertindak hormat pada apa yang pantas dihormati, yang tidak akan merugikanku suatu hari nanti. Ataupun yang dapat tumbuh lalu menusuk dari punggung.
"Tidak masalah. Tapi, jangan seperti itu lagi. Aku tidak suka suara bantingan pintu." Katanya. Aku mengangguk mengiyakan. "Apakah ada Hamlet di dalam?" Tanyanya kemudian menatap pintu ruang membaca yang baru saja aku masuki.
Aku mengangguk. "Iya, dia datang dan berada di dalam bersama Tuan Puteri Katheline."
"Jika sudah selesai bersua dengan Katheline, bisakah kau panggil dia dan menyuruhnya ke ruanganku di atas?" Tanyanya yang tak dapat kujawab selain mengiyakan. Namun, belum sempat Tuan Rumah itu menghilang dari pandangan, pintu ruang membaca terbuka. Menampakkan batang hidung kedua insan menyebalkan itu.
"Kau dipanggil ke ruangannya di atas." Infoku mengatakan dengan setengah hati dan sesingkat mungkin. Namun, yang merespon adalah orang yang tak di ajak bicara.
"Apakah tuanku memanggil Hamlet? Apakah tadi ia berada disini, Edward?" Tanyanya masih dengan nada yang berbeda dari suara runcingnya.
Aku menangguk lalu menunjuk tangga besar utama yang sedikit terlihat dari sini. Si Tuan Rumah sedang menaiki tangga teratas, sekarang.
"Aku akan menyusulnya sebentar. Permisi, tuan-tuan." Katanya lalu menunduk hormat padaku dan Hamlet yang menjulang di sebelahnya.
Ia membuatku mengernyit heran, pada akhirnya. Biasanya gadis itu akan berlari tanpa perlu ba-bi-bu. Namun, yang aku lihat adalah gaunnya yang mekar dengan sempurna dan bergerak pelan sesuai langkahnya. Dari puncak kepala akan sungguh terlihat kalem dan sempurna jika saja tak ada cacat di kakinya karena ia memutuskan untuk tak memakai alas. Atau mungkin dengan bodoh ia telah melupakannya. Tidak, gelengku. Bisa saja dia memutuskan untum membuat kakinya telanjang agar terlihat bagus di mata pangerannya, si Hamlet itu.
Bagaimanapun aku tak bisa menebak cara bekerja pikirannya dan aku tak merasa peduli padanya.
"Apakah Tuan Sigrid mengatakan hal lain mengapa ia memanggilku?" Suara yang bertanya mampu menyadarkanku dari kesibukan pikiranku. Jadi, si tuan rumah ternyata bernama Sigrid.
Aku melihat Hamlet kini lebih dekat dari sebelumnya. Lebih tinggi dari Emma, dia. Postur tubuhnya tegap dengan otot yang tersembunyi. Rahangnya tegas dan matanya biru. Rambut coklat tembaganya bertengger dengan tak rapi. Cara berdirinya mantap dan kokoh. Bagaimanpun, hanya dari fisik dan pembawaannya saja mampu membuat orang-orang berspekulasi dan mengatakan bahwa Hamlet ialah sosok yang independen dan mendominasi.
Ia tak jauh berbeda dengan Tuan Sigrid.
Tetapi, Tuan Sigrid terlalu menyuarakan hal menakutkan di balik senyum menawannya. Walaupun ia baik, pikirku. Aku selalu diingatkan dengan kata-kata bahwa ada yang ia sembunyikan dengan baiknya hingga tak tercium di permukaan. Melihat Tuan Sigrid entah mengapa selalu membuatku memperingati diri sendiri untuk berhati-hati untuk kebaikanku. Bukan untuk kebaikannya.
Suatu hal yang selalu aku lakukan jika aku harus berhadapan dengan ayah terkutuk itu."Tuan Sigrid tidak berkata apa-apa." Jawabku.
Hamlet ingin membuka mulutnya lagi ketika tiba-tiba saja terdengar suara teriakan yang menggelegar di bangunan ini.
Napasku seakan berhenti seketika ketika aku menyadari bahwa teriakan itu berasal dari mulut gadis menyebalkan itu.Suara Katheline.
Tanpa berpikir aku langsung berlari menghampirinya. Tak mengindahkan kakiku yang gemetar tanpa alasan dan napasku yang tersendat seketika. Sementara, jantungku berderak menggebu-gebu. Khawatir tentang apa yang terjadi.
De javu,
Rasanya waktu kini telah mundur ke beberapa minggu yang lalu. Ketika aku menyongsong kegelapan sang malam di kota setelah disia-siakan menunggu pria yang tak kunjung datang itu.
De javu,
Rasanya diriku ditarik kembali menembus waktu untuk berhadapan hal yang sama ketika aku dituntut berlari sekencang yang aku bisa untuk menyelamatkan wanita sialan itu.
De javu, aku bilang.
Rasanya seperti hal yang hilang datang kembali. Kebodohanku datang untuk tigakali.
Lubang yang kosong telah terisi oleh sesuatu yang lain. Si bodoh itu mengatakan dengan lugas dan jelas. Bahwa mulai sekarang, dengan jiwa dan raga yang aku punya, aku harus melindungi gadis itu apapun caranya.
Apapun.
###
Ps: Photo Hamlet di mulmed(:
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...