Chapter Eighteen - Pride

311 59 5
                                    

"Kehidupan lain yang ia bicarakan akan jauh terbentang melawan ribuan abad. Ia tidak akan muncul kembali. Ia tidak akan menikmati hasil hidupnya yang kotor itu di lain waktu." -H

"Diam!" Bentakku. "Kau paham? Jika kau buka mulutmu lagi, akan aku tunjukkan padamu bagaimana cara reinkarnasi iblis itu bekerja menghabisi korbannya."

Wanita itu membisu dan tidak bergerak bahkan berusaha mengeluarkan napasnya dengan begitu hati-hati. Tanganku responsif langsung menarik rambutnya. Menjambaknya hingga kuharap seribu helaian itu lepas dari kulit kepalanya.

Detice tidak melakukkan apa-apa selain menutup matanya dan menangis. Wanita itu tidak lagi menyuarakan suara kotornya di hadapanku. Sementara sikap tubuhnya telah pasrah untuk menerima kematiannya.

"Kau telah melewati batas, kau tahu? Aku tidak bisa memaafkanmu." Kataku tidak mendapat jawaban apa-apa darinya. Lalu ku tarik kembali rambutnya hingga ia terseret mengikuti kemana arahku pergi. Ku bawa ia menuju rerumputan atas. Akan ada tebing disana dan aku bisa menjatuhkannya.

Bukankah tempat itu begitu sempurna?

"Kau mengerti apa yang kulakukan padamu, Detice? Beruntunglah kau tidak lama-lama aku pukuli karena aku akan merasa jijik lama-lama bersamamu."

Wanita itu berusaha bangun untuk berjalan dengan kakinya. Ku tarik rambutnya untuk cepat dengan menikmati alunan suara napasnya yang tersendat, rintihan kecil mulutnya yang berusaha ia tahan, dan gestur tubuhnya yang kesakitan.

Harmoni itu begitu menenangkan hatiku. Mereka bersatu membuatku merasa lebih baik untuk berdiri di bumi yang nista ini.

"Ada kata terakhir?" Tanyaku sesaat sebelum mendorongnya.

Ku mantapkan kakiku dan memposisikan wanita itu di ujung hingga ia bisa melihat apa yang menjadi masa depannya nanti.

Bukankah hidup begitu indah, ucapku dalam hati. Anginnya akan segera membawa pergi segala derita bahkan nyawanya.

Bukankah hidup begitu indah, kataku. Airnya akan menghantamnya dan mengikat paru-parunya.

"Aku tidak akan berlama-lama lagi jika benar-benar tidak ada. Kalau begitu, hitunglah bersama--"

"Tunggu," sanggahnya dengan gemetar.

Ku usahakan untuk menghiraukan bahwa wanita pelayan ini telah memotong kalimatku dengan begitu tidak sopannya.

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Beritanya. Kepalanya terangkat memandangku. Matanya kembali menatapku. Kali ini tidak dengan emosi sebelumnya yang meluap-luap. Justru, akan lebih baik yang seperti itu. Aku tidak menyukai tatapan matanya yang seakan berbicara bahwa ia peduli padaku.

"Katakan!" Bentakku ingin hal ini cepat berlalu.

"Manusia hidup dan mati untuk kehidupan lain, saya percaya itu. Semua yang ditanam, akan kita petik di lain waktu, saya juga percaya itu. Dan karma selalu berlaku di dunia ini, Tuanku.

"Saya tidak tahu apa yang kulakukan di masa lalu hingga saya bertemu dengan iblis macam dirimu. Saya harap, saya tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Saya harap inilah hidup pertama saya. Dan jika saya harus hidup di kehidupan lain nanti, saya akan lega.

"Setidaknya, saat ini saya mati dengan segala kehormatan yang disia-siakan oleh Tuan yang saya setiai seumur hidup saya. Tidakkah itu salahmu dan bukannya saya?

"Saya melakukan porsi saya dan Tuan melakukan lakonnya. Saya orang baik. Jika ditanya apakah saya menyesal, saya akan mengatakan tidak. Karena saya tahu hidup Tuan akan jauh lebih menderita di kehidupan lain nanti dibanding dengan saya. Karena Tuhan itu adil, Tuanku. Dan saya tidak meragukannya." Jelasnya.

Aku memandangnya sebentar, kemudian menghela napas.

"Baik, kalau begitu. Kurasa tidak perlu berhitung bersama. Kau telah lama membuang waktuku." Ucapku lalu mendorongnya kuat hingga badannya meluncur jatuh diakhiri dengan suara air yang keras.

Air akan meleburkannya. Merusak gendang telinganya kemudian meraup paru-parunya. Di ketinggian yang seperti ini, tidak akan ada baginya kesempatan untuk hidup lagi.

Kehidupan lain yang ia bicarakan akan jauh terbentang melawan ribuan abad. Ia tidak akan muncul kembali. Ia tidak akan menikmati hasil hidupnya yang kotor itu di lain waktu.

Ia keliru.

Aku tidak akan tersiksa dan menderita seperti yang dikatakannya. Aku akan berkuasa. Kuasa itu diatas segalanya, dan aku percaya itu.

Ku bawa diriku untuk kembali menuju daratan bawah. Butuh waktu puluhan menit untuk kembali sampai. Langsung ku hampiri kuda dan menaikinya. Menarik tali kekangnya agar sampai ke Pub DeBour.

Ku hiraukan gema lain dalam telinga dan otakku yang begitu memikirkan perkataan wanita Detice yang mati itu. Bohong jika aku tidak memedulikannya. Dan karena itulah aku merasa begitu marah.

Karena aku peduli dimana seharusnya kubiarkan saja mereka berlalu seperti seliran angin.

Tidak, tidak.

Aku tidak bisa ke Pub DeBour sekarang. Akan gila aku disana menghadapi manusia-manusia penjilat itu.

Ku putuskan untuk berbalik arah. Lalu kembali ke rumah. Mengikat kudaku dan berjalan menuju satu-satunya jalan menuju pintu yang sama untuk melihat wanita busuk itu.

Ku hiraukan kembali suara menyedihkan bahwa aku datang karena kebiasaanku yang tidak pernah hilang untuk selalu bersama wanita itu ketika aku merasa terluka.

Tetapi, belum sampai disana, pria penjaga yang tidak kuhapal namanya menghampiriku. Gara-gara George yang membuat kesalahan itu hingga aku membunuhnya, sekarang aku jadi tidak memiliki penjaga tetap yang bisa kupercaya. Kalau begitu, aku harus menetapkan satu. Mereka selalu berganti-ganti dan aku tidak menyukainya.

"Ada apa?" Tanyaku jengah. Aku harap yang datang adalah berita yang tidak akan membuatku tambah murka melebihi ini.

"Wanita-wanita dari pasar budak sudah datang, Tuan. Mereka telah dibariskan di ruang tengah untuk Anda lihat." Beritanya.

Tidak terlalu buruk, pikirku.

Aku kembali berbalik arah dan melupakan wanita busuk itu. Meluapkan amarahku dengan budak-budak lebih baik ketimbang harus berbicara dari hati ke hati dengan wanita terpasung.

Hal itu melukai harga diriku secara tidak langsung.

°°°

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang