Chapter Fifteen - Indignity

350 68 14
                                    

"Biarkan saja ia merasakan sedikit kemewahanku. Akan aku bawa segala iblis dalam sudut-sudut hidupku agar menjadi deritanya." -H

"Berikan sel yang terbaik untuknya." Kataku lalu detik selanjutnya menggeleng. "Tidak-tidak. Jangan taruh dia di sel bawah tanah. Siapkan saja kamar untuknya." Perintahku sambil menimbang-nimbang. "Kamar yang layak, maksudku. Berikan dia gaun yang mewah. Dandani secantik mungkin. Lalu datangkan ia ke hadapanku." Sambungku mendapat anggukan dari pelayan wanita yang berdiri congkak.

Kemudian mataku memandang langit yang dilukisi manusia telanjang berbalut awan dengan sayap bagai cupid. Apakah semuanya cupid, aku berpikir-pikir. Cupid bodoh yang menggenggam senjata angin berharap yang dipanahkan adalah cinta. Padahal ia membawa kematian.

"Ada pertanyaan?" Tanyaku agak membentak saat wanita pelayan yang tidak kuketahui namanya itu masih berdiri dengan setianya disana.

Ia lantas menggeleng dengan bodoh membuatku menegakkan badan bergegas menghajarnya.

"Kalau begitu pergi! Apalagi yang kau tunggu?" Kataku kasar. Wanita itu tersentak lantas mengangguk dan menunduk hormat sedalam-dalamnya lalu berjalan mundur hingga pintu menutup dengan gelisahnya.

Semuanya bodoh. Betapa tololnya manusia yang tidak mengerti bagaimana bersikap di hadapanku.

Kemudian pintu terkutuk terketuk lagi. Datanglah seorang pelayan pria dengan pongahnya.

"Tuan," ujarnya hormat.

"Ada apa lagi?" Tanyaku jengah.

"Wanita yang baru didatangkan, Tuan. Ia menghajar Datice di kamar mandi." Ucapnya.

"Maksudmu, wanita budak itu menghajar pelayanku?" Tanyaku dibalas anggukkan. Lantas ia berkata,

"Apa yang harus saya lakukan padanya? Ia masih memberontak hingga sekarang." Beritanya menatap lantai.

"Masa mengurus dia saja tidak bisa?" Remehku. "Menghajar yang seperti apa maksudmu?"

"Ia memukulnya, Tuan. Menghajar kepala Detice sambil memaki dan—"

"Kalau begitu. Kurung dia di sel bawah tanah."

"Baik, Tuan." Ujarnya lalu berbalik badan.

"Tunggu!" Kataku tiba-tiba. "Bawa ia kemari saja." Putusku.

Pria itu memandang lantai dengan menaikkan alisnya. Ia tak menjawab pun tak menangguk.

"Ada apa?" Tanyaku tak suka. "Apakah perintahku kurang jelas? Bawa ia kemari! Di hadapanku!"

"Ba—baik, Tuan. Saya mengerti." Jawabnya namun masih berdiri diam disana.

"Jika kau masih tidak beranjak, akan aku lumpuhkan kakimu." Ancamku kemudian menyadarkannya karena ia langsung menunduk hormat dan pergi dengan sesopan mungkin di mataku.

Aku yang bodoh atau mereka yang bodoh?

Jika tidak karena kedatangan budak itu, sudah kubunuh semua pelayan yang membuatku kesal bukan main sejak tadi.

Apakah permintaanku begitu tak masuk akal hingga membuat mereka berpikir dua kali untuk mematuhinya?

Besok aku harus mengumumkan peraturan baru kalau begitu. Tidak ada yang boleh mempertanyakan atau meragukan keputusanku. Sabdanya sudah jelas dan hukumannya mati jika melanggar.

Kalau sudah begitu, aku tak perlu naik pitam menahan emosi melihat kebodohan mereka yang tidak tanggap.

Aku berdiri karena udara dingin dan salju yang berjatuhan di luar ternyata tidak bisa memadamkan rasa panas dalam tubuhku. Ku singkap gordennya dan membuka gerendel jendela. Mendorongnya hingga terpaan angin kencang langsung menerbangkan helaian rambutku yang panjang.

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang