Chapter Six - Father?

296 60 14
                                    

"Setidaknya, aku tidak mengurungnya dalam kandang hewan seperti yang dilakukan Tuan Sagrid padanya." -H

Jadi budakku, katanya.

Ia datang dan dengan gilanya menghadiahkan dirinya untukku.

Baiklah, Katheline.
Mari kita coba. Melihatmu lagi mungkin sama rasanya seperti ditikam hingga mati. Namun, bagaimanapun mari kita coba dan lihat apa yang terjadi nanti.

Kita lihat sejauh mana ia akan bermain di tempatku. Kita lihat seberani apa ia mengambil resiko menawarkan nyawa dombanya untuk dihabisi serigala sepertiku.

Jam yang terpasang di dinding telah menunjukkan tengah malam. Namun, mataku tak kunjung tertutup dan tubuhku hanya berjalan berkeliling ruangan kamarku.

Aku memutuskan untuk pergi. Menghampiri apa yang pantas dihampiri setelah sekian lama aku memikirkannya.

Angin berhembus begitu kencang mengantarkan aura dingin yang mencekam.
Akhir tahun akan tiba. Dan pergatiannya menambah lagi satu angka penantianku menunggu wanita yang mayatnya terbawa arus perairan.

Kakiku melangkah diiringin suara sentuhannya dengan batu. Sementara mataku menatap keras pada air yang arusnya begitu tenang walau menyimpan kegaduhan.

Satu jam.

Dua jam.

Tiga jam.

Hampir mati rasa kakiku berdiri bagai patung batu sambil menatap kosong air sialan itu.

Suaranya, matanya, aromanya, terus berada di sekitarku bagai angin yang tak pernah tertiup. Dan entah mengapa hal itu melukai harga diriku melebihi apapun.

Aku harus terus menggantungkan kebahagiaanku padanya. Aku tak akan bisa melupakan setiap detik waktu singkat yang kuhabiskan bersamanya. Dan bahwa aku harus merasa tak akan pernah jatuh cinta selain padanya.

Hal itu melukaiku hingga keubun-ubun dan aku membencinya.

Aku menatap batu-batu kecil di bawahku. Melangkah mundur lalu memandang bagian ruangan lain yang menyatu namun tampak seperti telah terpisah di ruang waktu dengan rumahku yang terlihat besar darisini.

Tanpa sadar, aku berjalan mendatanginya. Membuka gemboknya dengan kunci yang terus berada di sakuku sebelumnya. Dan mendorong besi itu hingga kudapati diriku masuk semakin dalam.

Ia terpasung.

Aku memasungnya dalam ruangan berpintu sel yang sudah menjadi rumah indahnya tigahari belakangan.

Namun, wanita busuk itu diam saja. Bahkan gerakannya tak terlihat oleh mataku.

Ada apa, aku bertanya-tanya.

Mungkin karena ia sudah gila. Kewarasannya habis oleh cinta gelapnya untuk pria yang sama busuk seperti dirinya.
Aku tak menyangka bahwa hidupku akan terus berjalan bersama dengannya.

Kurasakan desakan jijik mengakui dia sebagai ibuku.

Sepatu botku menggema dalam ruangan yang lantainya terbuat dari kayu. Cahayanya temaram karena satu bohlam menyala di ujung ruangan.

Setidaknya, aku tidak mengurungnya dalam kandang hewan seperti yang dilakukan Tuan Sagrid padanya.

Namun, kuperhatikan sama saja keduanya. Tidak ada bedanya. Ia bagai mati segan dan hidup tak mau. Hal yang seharusnya tidak kupedulikan tetapi kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang kulakukan.

Aku berada di sini.

Di ruangan yang bangunannya berada di bagian belakang istanaku. Ruangan yang mewah dengan segala perlengkapan yang ada di dalamnya. Pintu selnya yang besi terlihat bersih karena selalu ada yang akan membersihkannya.

Dari semua tempat di tengah malam, aku menemukan diriku di sini.

Masuk dan menyapa dirinya dalam minimnya cahaya. Sementara angin di luar sana berhembus kencang membuatku menggigil dingin. Dan yang dilakukan wanita itu hanyalah menatap pintu sel dengan ingin.

"Apa lagi yang harus kulakukan padamu?" Tanyaku menatap kaki lemahnya yang terpasung.

Namun, yang ditanya tak menjawab. Aku bergerak menghampirinya lebih dekat dan berjongkok di sampingnya. Memandang lekat rambut gelap yang rapi habis disisir dan wajahnya yang menawan hingga aku hampir percaya bahwa wanita itu benar ibuku.

Mungkin, ia pada akhirnya menyadari kehadiranku karena mata coklatnya bergerak memandangku. Bertemu dengan mata hijauku dan menatapnya bagai kawan lama.

"Harry," ujarnya. Tangan dinginnya terangkat menyentuh wajahku. Mengelusnya sambil bergumam sesuatu.

"Apa katamu?" Tanyaku saat yang terdengar hanyalah deruman lembut. Sambil menyungkirkan fakta bahwa aku membiarkan tangannya berada di wajahnya.

"Harry anakku," lirihnya. Lalu kalimat yang keluar kemudian membuatku mendekatkan telingaku pada mulutnya yang masih berucap.

"Ucapkan lagi." Perintahku mendekatkan lagi telingaku agar mendengar suara kecilnya.

Namun, yang kudengar kemudian adalah hal yang membuatku berharap aku benar-benar tuli. Bahwa yang kudengar hanyalah gumaman halus tak berarti yang datang dari wanita busuk yang pikirannya terganggu hampir mati.

"Lagi." Perintahku. Berharap mendengar kalimat gelagapan lain selain,

"Harry anakku. Anakku dan Masterku, Tuan Sagrid. Kau permataku. Ayahmu. Tuan Sagridku dan permataku, Harryku."

°°°

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang