"Aku takut, jika pada akhirnya, aku akan kecewa kepada diriku dan tak pernah sudi memaafkan jiwaku sendiri." -H
Aku lapar.
Lapar sekali.
Perutku tak berhenti meraung minta diisi. Kapan terakhir aku makan, aku bertanya-tanya. Tapi, aku tidak mengingatnya.
Ku senderkan tubuhku sejenak pada batang pohong besar setelah merasa kesal tidak kunjung menemukan wanitaku.
Tidak terasa hari sudah mau gelap lagi. Dan, aku baru sadar bahwa aku tak memiliki tempat persinggahan selain rumah itu.
Bukan, gumamku. Bukan rumah. Itu hanya bangunan bobrok yang begitu seperti neraka suasananya.
Aku memejamkan mataku. Menahan sakit dan perih seluruh organ tubuhku yang memprotes.
Tapi, mereka tak bisa memprotes jika harus berjalan bermil-mil lagi untuk menemukan Emma. Hatiku tak akan membiarkannya. Akan aku berikan mereka istirahat saat ini. Berharap bisa mendukung keinginanku nanti.
Namun, semakin banyak waktu yang aku gunakan untuk berleha-leha, akan semakin jauh Emma dariku.
Tidak bisa, kalau begitu!
Aku tidak akan membiarkan Emma menjauh dariku barang seinci pun. Namun, aku menghela napas kasar. Sisi lain dariku berkata dengan jahatnya bahwa Emma memang sudah pergi berkilo-kilometer jauhnya dariku.
Tidak, sanggahku lagi. Jangan bicara semacam itu!
Ku paksakan kakiku terus berjalan. Mataku tak berhenti mencari-cari sesuatu. Apapun. Tapi, sejauh ini yang kutemukan hanyalah air tenang yang mengecewakan.
Aku tak mendapat apa-apa.
Tidak dengan harapanku, juga hidupku.Tubuhku kosong. Telah diambil oleh orang yang kupercayai tak akan menghancurkannya. Aku menggeleng kepala. Emma memang tidak menghancurkannya tapi ia menghilangkannya. Menguburkan dirinya bersamanya.
Tidak tahu apakah aku harus marah atau kecewa. Dua-duanya salah dimataku. Kasusnya adalah Emma yang korban disini.
Gara-gara aku, pikirku dengan menderita.
Rasanya seakan Emma telah membawaku ke atas bukit untuk memandang matahari terbit. Lalu kemudian aku jatuh hingga yang kulihat hanyalah tanah basah dan lumpur.
Sementara Emma disana dengan tidak bahagianya dan aku harus tersiksa lebih dari dirinya.
Aku menunduk dalam. Merasa tidak kuat lagi jika harus berjalan. Kepalaku mulai pening lalu kurasakan debuman. Tubuhku bertemu dengan hal yang sama saat aku jatuh dari bukit.
Tanah basah dan lumpur.
Sakitnya lagi-lagi tidak tertahan. Lebih baik melihat darah dibanding kekosongan dan ketiadaan saat ini. Tidak apa berdarah asal tidak seperti ini, pikirku.
Lalu telingaku menangkap suara kaki kuda yang mendekat. Tidak tahu siapa manusia yang kini mengangkatku bersamanya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Atau lebih tepatnya, mulutku tak mau berkata apa-apa.
Aku terlalu takut, saat ini. Emma belum di temukan dan aku takut bahwa aku tak akan pernah bisa menemukannya. Takut jika aku harus menyesal nantinya.
Aku takut, jika pada akhirnya, aku akan kecewa kepada diriku dan tak pernah sudi memaafkan jiwaku sendiri.
Emma memang membuatku menyadari bahwa aku memiliki sayap dan bisa terbang. Lalu kepergiannya membuatku menjadi burung dengan sayap yang patah.
Namun, kupikir itu salah.
Aku bukan hanya burung dengan sayap yang patah. Aku burung yang mati. Yang lehernya terpenggal dan tubuhnya tertusuk panah pemburu.
Dan aku jatuh. Bukan hanya pada tanah basah dan lumpur. Aku jatuh ke perut bumi sedalam-dalamnya. Jatuh lebih dalam dari terakhir kali aku jatuh.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...