Mita terduduk membelakangi pintu kamar Rio. Sejak kejadian tadi, Rio tak keluar dari kamarnya. Ia mengurung diri. Mita tak bisa berbuat banyak, mungkin Rio sedang membutuhkan waktu untuk sendiri. Apa salah jika dirirnya peduli pada Rio. Perasaannya mengatakan bahwa Rio sangat tersiksa dengan keadaannya yang seperti ini. Entah kenapa, kata-kata Rio terus terngiang dibenaknya.
"Peduli? Di dunia ini nggak ada yang peduli sama gua. Kenapa mereka ninggalin gua saat terpuruk seperti ini. Apa itu yang disebut dengan peduli, Mit?."
Mita pun bangkit. Ia menyandarkan dahinya di ambang pintu. Ia menutup matanya. Ia ingin merasakan rasa sakit yang dialami oleh Rio. Jika ia dapat meminta, ia ingin rasa sakit itu berpindah pada dirinya. Mita hanya ingin melihat Rio tersenyum dan menjalani hidupnya dengan bahagia. Walau pun ia tau, bahwa ia bukanlah siapa-siapanya Rio. Ia hanyalah 'seorang perempuan yang kebetulan lewat di kehidupan Rio'.
"Maaf, Rio. Gua terlalu ikut campur dalam kehidupan lo. Tapi lo harus tau, kalo gua itu peduli sama lo. Gua pengen lo bagi rasa sakit itu ke gua. Jangan pernah lo simpen sendiri. Itu yang buat lo terpurut, Rio." nada suaranya kini merendah.
"Jangan pernah beranggapan kalo lo itu adalah orang yang paling menderita. Masih banyak orang yang lebih menderita dibandingkan lo. Walau pun mereka dalam keadaan terpuruk, tapi mereka nggak menyerah untuk bertahan hidup."
"Sampai saat ini gua nggak pernah tau apa pun tentang penyakit lo, mungkin suatu saat lo yang akan memberitahu gua tentang hal itu. Jika lo udah anggep gua sebagai seorang 'teman'. Gua pengen lo janji sama gua, janji seorang temen. Apa pun yang terjadi, janganlah pernah kehilangan rasa semangat hidup lo. Tetaplah hidup, untuk semua orang yang lo sayangi. Gua pergi dulu, yah. Kayaknya Mama lo udah pulang." Mita pun berjalan meninggalkan pintu itu.
Mita pun tidak menyadari, sedari tadi Rio berdiri di ambang pintu, ia mendengarkan semua ucapan yang keluar dari bibir perempuan itu. Rio tak menyangka kalau ada yang berani mengatakan hal itu padanya. Entah kenapa perkataan Mita terus terngiang dibenaknya layaknya sebuah kaset rusak.
"Apa pun yang terjadi, janganlah pernah kehilangan rasa semangat hidup lo. Tetaplah hidup, untuk semua orang yang lo sayangi."
Rio menyungging senyuman kecil. "Terima kasih, Mit," gumamnya.
****
"Maaf, Nyonya. Saya mau pamit pulang," ujar Mita santun.
"Lho, kamu mau pulang, Mit?."
"Iya, Nyonya. Mama saya menyuruh saya untuk pulang," ucapnya bohong.
"Mita, kamu jangan panggil saya dengan sebutan 'Nyonya'. Panggil saja Tante Anisa."
"Iya, Nyo... Eh, maksud saya Tante Anisa."
"Bagaimana keadaan Rio. Dia udah minum obatnya?."
"Ud... Udah Tante." Mita sendiri pun tak tau apa Rio sudah meminum obatnya atau belum.
"Oh, iya. Saya punya sesuatu buat kamu." Anisa pun bangkit dari tempatnya. Ia membawa sebuah kantong plastik berwarna putih.
"Ini buat kamu dan juga buat Mama kamu." Anisa pun memberikannya pada Mita.
"Tidak usah Tante. Saya tidak ingin merepotkan Tante," tolaknya.
"Ayolah, Mit. Tante sudah susah payah lho membelikannya. Tante nggak merasa di repotkan kok. Ayo, ambil." dengan ragu, Mita pun mengambil kantong plastik itu.
"Ter... Terima kasih Tante."
Anisa tersenyum, "Iya, sama-sama sayang."
"Kalo gitu, saya permisi dulu Tante."
Mita melenggang pergi dari rumah Rio. Langkahnya terhenti, ia pun berbalik badan dan melihat jendela kamar Rio yang tertutup dengan tirai berwarna hitam. Apa dia baik-baik saja?, pikir Mita. Mita pun tak mau ambil pusing, ia pun melanjutkan perjalanannya.
Rio mengamati Mita yang tengah meninggalkan rumanya. Saat Mita menoleh kearah jendela kamarnya, dengan cepat ia menutup tirai jendelanya. Ia tak mau jika Mita mengetahui ia sedang memperhatikan dirinya.Setelah memastikan bahwa Mita telah pergi, Rio pun kembali membuka tirai jendelanya.
"Bertahan hidup?. Akan gua coba."
****
"Mita, kamu sudah pul..." belum selesai Sinta menyelesaikan perkataannya, Mita sudah berhambur ke pelukan Mamanya. Ia tak dapat menahannya lagi, ia pun menumpahkan semua air matanya di dalam pelukan Mamanya. Sinta pun terheran.
"Kamu kenapa sayang?," tanya Sinta panik. Mita pun melepaskan pelukannya.
"Hiks... Ma, apa aku salah kalo aku peduli sama seseorang." Tangisnya pun kini mulai reda.
"Salah? Tentu saja tidak sayang," jawab Sinta lemah lembut.
"Tapi kenapa saat aku peduli sama Rio, aku selalu salah di mata Rio, Ma."
Sinta menghapus sisa air mata yang ada di pipi mulus anaknya itu.
"Mungkin saja dia sedang banyak pikiran sayang. Tidak salah jika kamu peduli dengan Rio, seharusnya Rio harus senang karena ada orang yang peduli dengan dia."
"Rio sebenarnya senang jika kamu peduli padanya, hanya saja ia tak tau bagaimana caranya untuk mengungkapkannya sama kamu. Ia hanya malu."
"Apa pun yang terjadi kamu harus menyemangati dia. Beri dia dukungan. Berteman baiklah dengan dia. Jangan pernah tinggalkan dia saat dia sedang sedih. Jadilah keajaiban untuknya."
"Keajaiban?," tanya Mita heran.
"Iya sayang. Jadilah sebuah keajaiban untuknya. Keajaiban akan datang pada orang yang membutuhkannya. Seperti layaknya bintang di langit. Langit hampa jika hanya ada bulan saja disana. Maka bintang pun datang, ia datang untuk melengkapi bulan dan menerangi indahnya malam. Itulah yang disebut dengan 'Keajaiban'. Seluruh dunia butuh keajaiban."
"Terima kasih, Ma. Mama selalu ada saat Mita sedang sedih seperti ini." Mita pun kembali memeluk Mamanya.
"Sama-sama sayang." Sinta mengelus puncak kepala Mita.
"Mama adalah keajaiban buat Mita. Mita sayang Mama."
"Mama juga sayang Mita. Kalo gitu kita makan yuk. Mama udah laper nih."
"Oh, Iya. Ma, ini ada bingkisan dari Tante Anisa, majikan Mita." Mita memberikan kantong itu pada Mamanya.
"Wah. Majikan kamu baik banget Mit."
"Aku ganti baju dulu yah Ma." Mita pun melesat menuju kamarnya.Mita mengganti pakaiannya dengan pakaian santai. Ia menatap cermin yang ada di depannya. Matanya agak sedikit sembab.
"Benar apa kata Mama. Gua nggak boleh nangis. Gua harus jadi Keajaiban buat Rio. Keajaiban yang membuatnya terus bertahan hidup. Keajaiban yang membuatnya kembali tersenyum. Keajaiban yang membuatnya menjadi manusia paling beruntung di dunia ini. Pokoknya gua nggak boleh ninggalin dia apa pun yang terjadi. Mita Listiana adalah sebuah Keajaiban untuk Mario Febrianto!."
****
Hei semuanya. Maaf yah jika aku updatenya lama. Aku harap kalian suka dengan part yang ini. Dan insyaallah aku akan update setiap hari. Doakan terus yah. Jangan lupa baca ceritaku yang 'Nick and Mia'. Hargailah karya penulis dengan meninggalkan jejak berupa vote dan comment hehehe nggak maksa kok, yang penting kalian suka hehe.
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle (COMPLETED)
Teen Fiction#252 In Teenfiction (12/06/2018) #55 In Teenlit (25/07/2018) 17+ TAHAP REVISI [Part 45 sampai akhir akan di privat acak untuk menghindari adanya peniruan karya. FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA^^] "Mit, kamu mau dengerin permintaan aku, nggak...