'Dari semua laki-laki di dunia, aku lebih memilihmu. Bukan karena wajah atau status sosialmu, melainkan caramu menatapku yang mengatakan kalau aku adalah perempuan terakhir dihatimu.'
-Mita Listiana
****
Suasana sangat hening untuk waktu yang cukup lama. Saking heningnya suara detak jarum jam nyaring di telinga Rio. Tak ada yang memulai pembicaraan dan tak ada yang bergerak sama sekali dari posisi mereka. Waktu seakan berhenti berjalan. Yang mereka lakukan sekarang hanya duduk dengan posisi tegap dan saling berhadapan.
Sebelumnya Rio sudah menyuruh pembantunya untuk meninggalkan mereka berdua. Rio bersyukur mamanya sekarang tak ada di rumah karena urusan bisnis, jadi ia bisa berbicara empat mata pada Yoana.
"Kok canggung, yah. Hahaha." Suara gelak tawa terpaksa keluar dari bibir perempuan itu. "Kamu udah lupa, yah sama aku sampe-sampe diem gini."
Rio diam, bibirnya terkatup rapat. Sejujurnya ia sendiri pun bingung menanggapi perkataan Yoana. Rasa kesal, senang, sedih, terkejut tercampur aduk jadi satu.
Rio menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Bibirnya mulai terbuka, "Apa yang kamu lakukan di sini?" Rio berusaha bersikap tegas meskipun rasa gugup terus menyelimuti hatinya.
Yoana melempar senyuman lebar. "Akhirnya kamu ngomong juga. Daritadi aku ngomong udah kayak sama patung aja," guraunya tetapi tak ditanggapi oleh Rio. "Kamu belum jawab pertanyaanku, apa kabar, Rio. Kamu masih 'sehat', kan?"
"Cukup basa-basinya, Yoana. Apa yang kamu inginkan sampai-sampai datang ke sini?"
"Wah, ternyata kamu bisa galak juga, yah. Aku kan cuma nanya kabar kamu doang. Dan satu lagi, aku lebih suka kamu manggil nama aku kayak dulu lagi, Ana."
Deg
"Aku nggak akan manggil kamu dengan sebutan itu. Sekarang aku mau tanya sama kamu, kamu mau ngapain di sini?"
"Hmm..." Yoana menjeda perkataannya sejenak. "... Aku kangen kamu."
"A-apa! Apa maksud kamu?" tanya Rio terkejut.
Kini Yoana merubah posisi duduknya. Matanya terlihat sayu. "Aku kangen kamu, Rio. Maaf kalo sikap aku ke kamu dulu itu kurang baik. Aku--"
Belum selesai Yoana berbicara, Rio sudah mulai dulu memotong ucapannya. "Sekarang mau kamu apa, Yoana? Aku harus berbuat apa? Berpura-pura nggak terjadi apa-apa dan melupakan segala yang kamu lakuin setelah tau penyakitku." Sampai dititik ini Rio mencurahkan segala keluh kesalnya selama ini. "Denger Yoana, walaupun kamu bilang kangen aku atau segalanya, aku sama sekali nggak akan maafin kamu. Kamu nggak tau betapa menderitanya aku pada masa-masa itu. Harusnya kamu dukung aku, bantu aku bangkit, bukan pergi gitu aja."
Rio bangkit dari tempatnya. Tangannya mengepal sangat kuat. "Pergi. Aku sedang malas menerima tamu. Pergilah, Yoana."
Rio melangkahkan kakinya menuju kamar, meninggalkan Yoana yang diam mematung di tempatnya. Yoana ingin mencegat Rio namun ia urungkan niatnya. Yoana menepuk dahinya pelan, mungkin Rio butuh waktu untuk sendirian. Yoana bisa memaklumi sikap Rio sekarang, bagaimana ia pergi meninggalkan Rio begitu saja pasti membuat Rio sangat sedih. Dan sekarang ia datang tanpa aba-aba.
Yoana mengambil dompetnya lalu beranjak dari tempatnya. Saat di depan pintu depan, Yoana berbalik arah menghadap pintu kamar Rio. "Maafkan aku, Rio. Aku sangat menyesal."
****
Pintu kamar ia kunci rapat-rapat. Suasana kamar gelap gulita karena lampu belum sempat ia nyalakan. Hanya cahaya dari balkon kamarnya yang menjadi sumber penerangan walaupun tak seberapa. Rio melempar asal tasnya dan langsung berbaring di ranjang. Dadanya merasakan hal aneh, antara sakit dan berdebar bercampur jadi satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle (COMPLETED)
Teen Fiction#252 In Teenfiction (12/06/2018) #55 In Teenlit (25/07/2018) 17+ TAHAP REVISI [Part 45 sampai akhir akan di privat acak untuk menghindari adanya peniruan karya. FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA^^] "Mit, kamu mau dengerin permintaan aku, nggak...