17+
"Setiap hari aku selalu memikirkanmu. Tak masalah jika waktu terus berputar, langit berubah malam, hujan deras, bunga berguguran. Kamu akan selalu ada di sana."
-Mita Listiana
****
"Kamu tiduran aja, jangan dipaksa buat bangun," ujar Mita mendorong tubuh Rio untuk berbaring di ranjang. Laki-laki itu hanya mengangguk, ia sudah tak punya kemampuan lagi untuk menolak. Posisi Rio sekarang berada di ranjang dengan tubuh terlentang sementara Mita lebih memilih untuk duduk di pinggir ranjang.
"Kenapa?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Mita. Bukan tanpa alasan, pasalnya sejak tadi Rio tak bergeming menatapnya dan lagi ia sama sekali belum berkedip.
"Kamu..." Rio membuka bibirnya.
Mita menunjuk dirinya. Ia agak bingung dengan ucapan laki-laki itu. "Aku? Aku kenapa?" tanya Mita terheran-heran.
"I-ini beneran kamu?" Pertanyaan Rio membuat Mita tersenyum geli. Nampaknya ia masih menganggap kalau Mita itu hanya bayangan saja
Mita mencubit pipi Rio gemas. "Bodoh! Memang siapa lagi selain aku," cengirnya.
"Kenapa kamu bisa di sini?" tanya Rio tak bergeming. Ia mengelus pipinya yang habis dicubit Mita, sakit.
Mita menaruh tangan di dagu, ia menggaruk pelan. "Gimana yah aku bisa ke sini? Hmm..." Ia nampak berpikir keras. "Oh, iya."
Tanpa ampun Mita menarik kerah baju Rio kuat membuat laki-laki terkejut setengah mati. Ia membawa Rio lebih dekat dan dahi mereka pun saling bersentuhan. Rio bergidik ngeri saat matanya menatap Mita langsung. Tak ada senyuman melainkan raut wajah kekesalan.
"M-mita. Ka-kamu kenapa?" tanya Rio gugup.
"Kenapa kamu bilang?" Mita mengerutkan alisnya. "Dasar cowok brengs*k! Udah pergi nggak bilang-bilang. Ditelpon nggak diangkat, disamper ke rumah malah pindah, cari di sekolah malah nggak ada. Sok-sokan nutupin ini semua dari aku. Mau kamu apa, hah? Pengen cepet aku mati?" makinya dengan kata-kata yang tak biasa.
Butuh beberapa detik bagi Rio mencerna ucapan Mita. Setelah sekian lama tak bertemu, Mita malah mengomelinya seperti seorang ibu tengah memarahi anaknya sendiri.
Rio menatap Mita sayu. "Maaf." Hanya kata itu yang dapat mewakili perasaannya saat ini. Rio tak bergeming, ia sudah tak mau mengelak lagi, semua ini memang murni kebodohannya.
Perlahan Mita melepas pegangannya. Wajahnya merah padam "Aku kesel!" pekik Mita seraya menutup mata. "Kamu itu!" Ia menunjuk tepat ke wajah Rio. "Kamu itu nggak pernah terbuka sama aku! Apa susahnya sih ngasih tau kalo kamu sakit. Rugi yah buat kamu?" makinya lagi.
Rio membuat sebuah senyuman paksa. "Karena aku nggak mau ngerepotin kamu."
DEG
Melihat wajah pucatnya saja Mita tak tega mengomelinya lagi. Namun apa daya, rasa kesal masih tertanam di dirinya. Jangankan dia, semua pasangan yang dibohongi oleh pasangannya pasti kesal, kan? Rio beruntung kali ini Mita melepaskannya, kalau bukan karena kondisinya seperti itu pasti ia sudah 'habis' diceramahi Mita.
"Kamu apa kabar?" tanya Rio.
"A-aku baik-baik aja," jawabnya kikuk. "Kamu?" tanyanya balik.
"Kamu bisa liat sendiri," ujarnya tanpa ada rasa semangat sedikitpun. Rio bangkit dengan susah payah, mengubah posisinya menjadi duduk di ranjang. Mita cemas, namun Rio keras kepala untuk duduk seperti itu, Mita pun tak punya pilihan lain selain menurutinya. Tangan kanan yang masih tertempel selang infus ia angkat ke kepalanya. Tanpa ragu Rio membuka penutup kepala yang sejak lama dipakainnya.
"Oh my!" Refleks tangannya menutup mulutnya cepat. Mita tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya ketika Rio melepas beanie-nya. Kepala Rio yang biasa dihiasi oleh rambut-rambut hitam dan indah namun sekarang tak seperti itu lagi, rambutnya benar-benar tipis dan rontok. Bisa dibilang hampir botak.
"A-apa yang terjadi sama kamu?" tanya Mita dengan nada suara gemetar.
"Kata dokter Bayu sel kankerku sudah menyebar ke seluruh tubuh, hampir mendekati 80% dan mungkin aja akan bertambah." Jelasnya. "Jujur, Mit. Aku nggak ada niatan buat boongin kamu. Aku nggak mau jadi beban kamu, Mit. Aku nggak bisa liat kamu setiap hari dateng nemuin aku, jaga aku, dan rawat aku. Itu semua pasti akan mengganggu kegiatan sekolah kamu. Dan lagi kalo kamu terus-terusan di sini aku akan merasa bersalah sama diriku sendiri, lalu aku nggak bisa fokus untuk kemo."
Rio memegang kepalanya, ia mengelusnya perlahan. "Dan aku juga malu ketemu kamu dengan keadaan seperti ini. Aku udah mirip sama tuyul, yah. Hahaha." Rio tertawa namun ekspresinya tak mencerminkan bahwa ia senang.
Itu nggak lucu, batin Mita.
"Aku mau buktiin sama kamu kalo aku bisa sembuh." Rio mengambil tangan Mita lalu meletakkannya tepat di dadanya. "Dan jika hari itu tiba, aku akan dateng ke kamu, berlutut tepat di hadapan kamu sambil pengan tangan kamu seperti ini. Lalu aku akan bilang, 'aku dan kamu. Kita buat kebahagiaan kita sendiri.'"
Mendengar ucapan Rio yang berambisi sekali untuk sembuh membuat Mita terharu. Jantungnya berdegub kencang dan lagi bibirnya bergetar. Mita seketika ingin menangis saat Rio mengatakan bahwa ia akan membuat kebahagiaan bersama dirinya. Ia tak mengira kalau ini semua semata-mata hanya ingin terlihat sehat di matanya. Sesaat Mita merasa menjadi perempuan paling bahagia di dunia ini. Dalam hati kecilnya Mita ingin sekali bertanya pada Tuhan, kenapa laki-laki baik sepertinya harus mendapat cobaan seperti ini.
"Aku nggak peduli berapa hari, minggu, bulan, ataupun tahun yang aku butuhkan. Selagi aku masih bernapas aku akan selalu semangat buat sembuh. Aku--"
Cup
Ucapan Rio terhenti saat Mita menahan bibir Rio menggunakan bibirnya. Matanya membulat dengan sempurna, Rio amat terkejut saat Mita dengan sangat berani menepis jarak diantara mereka. Ia bisa melihat Mita melakukan itu seraya menutup mata, sepertinya ia malu. Wajah Rio seketika berubah menjadi merah padam, dadanya berdetak lebih cepat, mengikuti suara degub jantung Mita. Tak ada alasan Rio untuk menolak, toh yang memulai juga Mita. Ia memejamkan kedua matanya. Rio meletakkan tangannya di tengkuk Mita, menariknya lebih dalam lagi.
Beberapa detik berlalu, Mita pun memundurkan kepalanya, memberi sedikit jarak antara ia dan juga Rio. Ia meletakkan kepalanya tepat di dada Rio.
"Cukup. Kamu udah terlalu banyak bicara," ucap Mita seraya menepuk pipi Rio. "Jangan bicara lagi."
Rio memeluk tubuh mungil perempuan itu, membawanya lebih dekat kepadanya. "Iya."
"Di mata aku, kamu itu udah sembuh. Kamu itu udah sembuh," ucap Mita berulang-ulang. "Tak peduli orang lain anggap kamu apa yang jelas di mataku kamu itu laki-laki paling berharga yang pernah aku temui. Ada rambut ataupun enggak kamu itu masih Rio yang sama, Rio yang aku sayangi. Aku nggak akan malu punya pacar kayak kamu, justru aku akan malu jika aku ninggalin kamu dalam keadaan seperti ini."
"Terima kasih," ujar Rio tanpa melepaskan pelukan.
"Untuk apa?" tanya Mita.
"Untuk jadiin aku laki-laki yang berarti buat kamu, untuk selalu ada buat aku, untuk nerima aku apa adanya."
"Sama-sama," lirihnya.
Rio menutup matanya, "Bintangku."
****
Maaf kali ini ceritanya agak pendek >_< Akunya lagi sakit, ini aja disempetin buat update^^ aku usahain update lebih cepet hehe.
Jangan lupa follow, like, comment, kritsar, dan share ke temen kalian yah.
Salam,
PenaUnguID
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle (COMPLETED)
Teen Fiction#252 In Teenfiction (12/06/2018) #55 In Teenlit (25/07/2018) 17+ TAHAP REVISI [Part 45 sampai akhir akan di privat acak untuk menghindari adanya peniruan karya. FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA^^] "Mit, kamu mau dengerin permintaan aku, nggak...