Chptr 9 : Perasaan Yang Terpendam (2)

3.4K 322 70
                                    

"Memang tak mudah melupakan orang yang pernah singgah di hati. Apalagi orang itu adalah cinta pertama. Walau menyakitkan, tapi itu adalah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan."
-Mita Listiana.

****

Mita memegang dadanya yang terasa sakit. Ia ingin menagis. Ia ingin berteriak sekeras-kerasnya kalau ia sangat kesakitan. Mungkin rasa sakit ini melebihi rasa sakit yang Rio rasakan. Siapa ia di mata Rio? Ia hanyalah seorang 'teman' atau lebih tepatnya 'asisten pribadinya'. Mita tak menyangka ternyata patah hati akan sesakit ini.

Mita melihat sorot mata Rio saat ia membicarakan tentang Yoana. Ia bersemangat. Hatinya menggebu-gebu. Mita mencoba menahan air matanya yang terus menerus memaksa untuk keluar.

"Nggak. Gua nggak boleh keliatan lemah di hadapan Rio. Rio membutuhkan gua. Gua adalah keajaibannya. Gua adalah alasan untuk Rio tersenyum. Mita Listiana bukan cewek lemah. Sesakit apapun, gua akan tetap ada di samping Rio."

"Astaga, Mit. Lo nangis?" tanpa di sadari olehnya, air matanya pun meluncur di pipi Mita yang halus itu. Mita memegang pipinya yang sudah basah karena air matanya. Tapi saat ia akan menyeka air matanya, Rio sudah terlebih dahulu menyeka air matanya dengan kedua Ibu jarinya.

Jarak Mereka pun sangat dekat. Mita bisa merasakan deru napas Rio yang sedang berhembus di pipinya. Jantungnya pun kembali berdetak kencang. Mita mencoba menahannya dengan meremas bantal sofa yang ada di pangkuannya.

"Kok lo nangis Mit?" tanya Rio.

Mita bingung harus menjawab apa. Tak mungkin kan ia mengatakan alasan ia menangis adalah karena ia sakit hati mendengar Rio menceritakan tentang Yoana.

"Nggak. Gua nggak nangis."

"Udah cerita aja. Kenapa lo nangis?."

"Gua... Gua terharu dengerin cerita lo tentang Yoana," jawabnya bohong.

Rio tertawa, "Hahaha. Apaan sih lo. Lebay deh."

"Tapi, apa lo masih punya perasaan sama Yoana?," tanya Mita penasaran.

Beberapa saat Rio pun terdiam. Mita merutuki dirinya sendiri, untuk apa ia menanyakan pertanyaan bodoh seperti itu.

Rio menghembuskan napas berat, "Hm, gua juga nggak tau. Tapi itu nggak penting sekarang."

"Nggak penting?" Mita sedikit memiringkan kepalanya.

Rio menggenggam kedua tangan Mita, "Karena gua punya lo."

Mita tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. Jujur saja, ia senang mendengar kata-kata itu langsung dari bibir Rio. Sekejap Rio sudah membuatnya melayang.

"Lo orangnya baik, jujur, dan pengertian sama gua. Sekasar apapun gua dulu, lo nggak pernah nyerah untuk ngebuktiin kalo semua orang itu peduli sama gua. Gua bahagia banget punya temen kayak lo."

Sekejap Rio membuatnya melayang dan sekejap itu juga Rio menghempaskannya dengan keras. Rasanya sakit sekali. Mita mencoba tersenyum walaupun ia menahan rasa sakit itu.

"Gua juga bahagia punya lo," ucapnya lirih.

"Lo bisa nggak ambilin gua makan. Gua laper banget," pintanya manja.

"Yeh, emangnya gua babu lo."

"Lo emang bukan babu, tapi kan lo asisten pribadi gua. Hehehe."

"Huu, bisa aja nyari alesan. Ya udah, gua ke dapur dulu mau ambil makan." Mita beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju dapur.

"Bawain ke kamar gua yah!" teriaknya dari jauh.

"Iya bawel!" teriaknya balik

Mita menyajikan spaghetti dengan saus tomat di atasnya. Tak lupa juga ia membawakan jus mangga kesukaan Rio. Saat ia ingin membawanya ke kamar Rio, Cici menghampiri Mita.

Miracle (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang