"Sosokmu akan selalu terekam indah di dalam memori otakku, meski aku tahu hadirku tak bisa lagi mendampingimu."
-Mario Febrianto
****
Mita memperhatikan pantulan wajahnya di depan cermin yang berada di dalam toilet. Perlahan namun pasti, lebam-lebam di wajahnya memudar walaupun masih bisa terlihat oleh mata.
Dibukanya satu persatu pakaian rumah sakit yang beberapa hari ini ia kenakan lalu menggantinya dengan kemeja berwarna biru dan celana panjang yang sudah disedikan Sinta.
Hari ini Mita sudah diperbolehkan untuk pulang. Harusnya ia senang atas kepulangannya, namun raut wajah kebahagiaan tak nampak di wajah Mita.
Ia melamun di depan cermin dengan tatapan kosong. Sesekali ia menggerakkan jarinya berulang-ulang. Terbisit satu kilasan waktu di mana Claudya menyerangnya seperti orang kerasukan. Mengingatnya saja sudah membuat tangan Mita gemetar. Karena kejadian itu, Mita sedikit takut untuk kembali ke sekolah.
Mita sudah mendengar semua dari Wenda tentang apa yang terjadi setelah ia dibawa di rumah sakit, dan nasib mereka bertiga. Seharusnya Mita senang begitu mendengar tiga orang itu sudah tak bisa lagi mengganggunya, namun ada rasa tak tega di dalam hati Mita. Tapi itu mungkin ganjaran setimpal untuk orang yang suka membully.
Seharusnya kejadian hari itu tak pernah terjadi. Masa-masa SMA yang harusnya diwarnai dengan senyum dan tawa dengan teman berubah seketika menjadi mimpi buruk hanya karena masalah sepele, apalagi tentang laki-laki.
Tak hanya itu, Mita juga tak habis pikir di dalam dirinya ia bisa berkata menusuk seperti itu pada Claudya. Awalnya Mita hanya ingin melawan sedikit ke Claudya, namun ia tak menduga ucapannya begitu menusuk di hati perempuan yang sudah terbakar oleh amarah.
"Bodoh. Kenapa aku kayak gitu," ucap Mita merutuki sikapnya hari itu.
Tok tok tok
Mita tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara ketukan dari balik pintu. Ia menggelengkan kepalanya cepat lalu membasuh wajahnya dengan air yang keluar dari wastafel.
"Mit?" panggil sebuah suara dari balik pintu.
"Ah. I-iya," jawabnya gelagapan.
"Kamu udah selesai? Kok lama banget."
"I-ini udah selesai kok, ma," jawabnya
Secepat mungkin Mita merapikan kembali kemejanya. Setelah semua nampak sempurna, Mita pun keluar dari toilet.
Sinta mengemasi beberapa barangnya kemudian dimasukkannya ke dalam tas.
"Mau aku bantu, Ma?" tawarnya.
"Nggak usah. Mama bisa sendiri. Barangnya juga nggak banyak," sahutnya cepat. "Kamu udah mendingan, Mit?" tanya Sinta disela-sela ia berbenah.
Mita mengangguk. "Iya, ma," jawabnya lesu.
"Kamu kenapa, sayang. Keliatannya ada yang kamu pikirin, yah?"
Tepat sekali.
Mita tampak berpikir panjang. "Hm, mungkin."
"Kamu mikirin apa? Cerita sama Mama. Mungkin Mama bisa bantu."
Mita nampak menimang-nimang. Tak ada salahnya juga kan kalau ia curhat dengan Mamanya?
"Hari ini aku bakal pulang, tapi aku masih takut buat balik ke sekolah, Ma," keluhnya. "Kalo inget kejadian itu aku jadi takut, Ma."
Sinta menggenggam kedua tangan Mita dengan erat. Pandangan mereka bertemu. "Mita, dengerin Mama. Nggak bakal ada yang gangguin kamu lagi sekarang. Mereka udah nggak ada di sekolah. Kamu tenang aja," jelas sinta
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle (COMPLETED)
Teen Fiction#252 In Teenfiction (12/06/2018) #55 In Teenlit (25/07/2018) 17+ TAHAP REVISI [Part 45 sampai akhir akan di privat acak untuk menghindari adanya peniruan karya. FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA^^] "Mit, kamu mau dengerin permintaan aku, nggak...