Chapter 48: Tak Ingin Pergi

1.4K 85 8
                                    

Mencoba untuk kembali padamu mungkin itu hal sia-sia.

Aku hanya ada di masa lalumu, bukan di masa sekarang ataupun masa depan.

-Miracle

*****

Pukul empat sore dan hari pun menjelang petang. Cahaya jingga mulai mendominasi seluruh langit kota Jakarta, tak terkecuali di sebuah rumah sakit. Dengan dibantu oleh seorang suster Rio kembali ke kamar menggunakan sebuah kursi roda. Secara profesional dan cekatan suster tersebut membopong Rio untuk kembali ke ranjangnya. Begitu pekerjaannya selesai suster tersebut berpamitan dan pergi keluar dari kamarnya.

Laki-laki itu menghembuskan napas lega. Ia merenggangkan tangannya ke atas. Rio bersyukur akhirnya ia bisa kembali beristirahat. Dilepasnya beanie yang seharian ini menutupi kepalanya. Tangannya mengusap-usap kepala yang tidak ada sehelai rambut pun di sana. Rio berbaring, menikmati waktu-waktunya dalam kesunyian. 

Beberapa jam lalu Rio terpaksa menjalani sejumlah tes kesehatan yang baginya sangatlah rumit. Ia hanya berbaring, sementara beberapa dokter memeriksa tubuhnya dengan seenak jidat. Mamanya tak boleh masuk ke sana, Anisa hanya menunggu di depan ruangan.

Jujur saja, ia sangat tak suka. Rio sangat ingat bagaimana lampu-lampu itu bersinar terang menusuk penglihatannya dan dokter-dokter yang mengelilinginya seperti seekor satwa liar, sampai akhirnya seorang dokter pun membiusnya. Rasanya benar-benar seperti ia akan mati esok hari.

Rio memiringkan tubuhnya ke arah jendela. Matanya menangkap pemandangan langit sore yang sangat indah. Burung-burung berterbangan menjauh sampai pada akhirnya menghilang dari pandangannya.

Rio terdiam, wajahnya berubah nanar. Kalau dipikir sudah lama sekali ia tak pernah melihat langit sore seperti itu. Saking 'sibuk'nya ia tak sadar kalau hampir satu bulan ini ia menetap di ruangan yang ia sebut kamar. Rio merindukan saat-saat dulu di mana ia bisa ke mana saja yang ia inginkan. Ke sekolah, ke pantai, dan ke rumah seseorang yang sampai saat ini tak datang menemuinya.

Yap, dia adalah Mita.

Di saat seperti ini Rio jadi teringat akan sosok perempuan itu. Ketika ia sakit Mita selalu ada di sampingnya. Mita tidak pernah meninggalkannya. Tetapi semenjak Mita tak lagi datang Rio amat sangat kesepian. Tak ada lagi suara perempuan yang menasehatinya, tak ada lagi pelukan hangat, dan tidak ada lagi suara perempuan yang memotivasinya untuk tidak pantang menyerah. Rio mengerang pelan, seluruh otaknya didominasi oleh sosok Mita.

"Jangan bengong. Nanti kamu kesurupan."

Rio tersentak. Ia sangat terkejut saat mendengar ada suara laki-laki yang ada di dalam kamarnya. Pandangannya terarah ke sebuah objek yang sedang berdiri tak jauh dari ranjang. Ia mengelus dadanya pelan, jantungnya hampir saja copot karena saking terkejutnya. Rio sama sekali tak menyadari kalau Dokter Bayu masuk ke kamar.

"Ah, dokter. Bisa nggak datengnya kagak ngegetin," gerutu Rio dengan raut wajah masih syok.

Dokter Bayu cengengesan. "Hehe. Bukan saya yang ngagetin, tapi kamu yang bengong."

"Huft," dengusnya. "Ada apa?" tanyanya to the point.

Dokter Bayu berjalan menuju Rio. Ia mengambil posisi di samping ranjang. Melihat Rio sekilas membuat dirinya ragu, ada sesuatu yang ingin disampaikannya namun berat baginya untuk mengatakan ke Rio.

Alis Rio terangkat. "Katakan sesuatu. Saya itu bukan cenayang," tegurnya.

Bibirnya terbuka. "Maaf," lirihnya.

Miracle (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang