***
8 tahun yang lalu....
"Yey, ulangan matematikaku dapat 100," ujar seorang anak laki-laki yang masih berumur 8 tahun bersorak dengan riang, "Ayah sama Ibu pasti bangga sama aku," tambahnya kemudian berlari-lari kecil menuju ruang tamu rumahnya.
Ia berhenti tepat di tangga terakhir yang ia turuni. Senyumannya memudar melihat orang tuanya yang tengah bertengkar hebat.
Ibunya, Natasha mendatangi ayahnya, Hendra dengan hati yang penuh amarah.
"Hendra, darimana kamu?" Ujarnya dengan wajah yang memerah akibat amarahnya.
Hendra melonggarkan dasinya, "Ya, kerjalah. Kamu kenapa sih?" Tanyanya heran. Ia berjalan menuju sofa di ruang tamu yang besar itu, "Udah aku capek, ambilin aku kopi."
Natasha mengikuti suaminya masih dengan amarah yang sedang mendidih-didihnya, "KERJA ATAU SELINGKUH? HAH!?" Bentaknya dengan menekankan dua kalimat akhir.
Hendra berdiri dan dengan sekejap langsung menampar Natasha, "Berani-beraninya kamu. Aku ini kerja, masa aku selingkuh," ujarnya dengan emosinya.
Ponsel yang sedari tadi dipegang Natasha dibukanya untuk mencari bukti. Natasha menyodorkan ponselnya tepat di depan mata Hendra, "TERUS INI APA?"
Hendra membelalakkan matanya melihat foto itu. Sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dengan sekretaris barunya sedang bermesraan. Hendra tidak bisa menyangkalnya karena jelas-jelas foto itu memperlihatkan wajahnya.
Mulut Hendra ingin mengatakan sesuatu, namun ia tidak tahu harus berkata apa.
Dari raut wajah suaminya itu, Natasha sudah mengerti bahwa hal itu benar. Matanya mengabur, bulir-bulir air keluar dari pelupuk matanya dengan bebasnya. Ia tidak menyangka orang yang sangat ia cintai selain anaknya, Daffa berselingkuh dengan orang lain.
"Tapi kenapa..." sahut Natasha dengan suara parau akibat menangis.
Tak tega melihat istrinya menangis dikarenakan dirinya, ia berusaha mengelus punggung istrinya, "Natasha.."
Dengan cepat Natasha menepis tangan Hendra, "Jangan berusaha tenangin aku," Ia masih berusaha membentak Hendra dengan suara yang parau.
Melihat wajah suaminya di depan matanya itu, membuat hatinya menjadi sedih, marah, kecewa, dan berbagai perasaan buruk lainnya bercampur jadi satu.
Natasha menghapus air mata yang tersisa di wajahnya dengan kasar, "Aku bakal pergi," tuturnya lalu mengambil koper dari kamar mereka yang tidak jauh dari ruang tamu dan mengambil pakaian-pakaiannya dari lemari secara kasar.
Hendra mengikuti Natasha ke arah kamar mereka. Ia tak bisa berkata apapun. Tubuhnya mematung, tidak tau ingin berbuat apa. Hanya, matanya yang bergerak mengikuti gerak-gerik Natasha.
Selesai mengumpulkan pakaian dalam lemari. Natasha berjalan keluar kamar. Namun, saat melewati Hendra, Hendra mencegahnya dengan memegang pergelangan tangannya, "Maaf," ucap Hendra dengan perasaan yang sungguh bersalah.
Natasha menghiraukannya dan berlalu ke arah anak semata wayangnya yang masih terdiam di tangga tidak tau harus berbuat apa.
Natasha mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh anak laki-lakinya itu. Natasha berusaha tersenyum lalu memegang kedua bahu Daffa, anaknya, "Ibu pergi dulu ya, jaga Ayah baik-baik, jangan kecewain Ibu ya, ingat semua pesan yang Ibu sampaikan ke kamu," sahut Natasha dengan tangis yang ia tahan.
Dan seketika tangis Daffa pecah, ia menghamburkan pelukannya ke ibunya, "Daffa sayang Ibu," ujarnya dengan pelukan yang semakin erat.
Natasha melepaskan pelukan Daffa dan tersenyum kecil, "Jangan nangis. Ingat yang Ibu katakan?" tanyanya sambil menghapus air mata anaknya.
Daffa mengangguk, "Jangan menangis karena menangis membuatmu lemah."
Natasha kembali tersenyum, "Anak Ibu pintar.." Natasha berdiri, "Ibu pergi dulu ya."
Natasha melambaikan tangannya ke arah anaknya yang kini sedang menahan tangisnya.
Salah seorang pembantu membukakan pintu baginya dan diluar rumah bergaya Eropa modern mewah itupun tangisnya pecah. Ia berlari sambil membawa kopernya menuju pagar yang cukup tinggi itu.
Natasha berjalan tanpa arah, entah kemana dia akan pergi. Hatinya hancur, diremukkan hingga menjadi butir-butir. Air matanya terus mengalir. Ia kecewa, sangat kecewa.
Lain pula dengan Daffa, Daffa berlari menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Ia mengunci pintu kamarnya.
Dibukanya selembar kertas hasil ulangan harian matematikanya yang sudah terlihat lusuh karena diremasnya. Tidak ada gunanya. Selembar kertas ulangan hariannya itu akhirnya basah disebabkan tangisan Daffa yang ia tahan sedari tadi.
Daffa melempar sembarangan kertas ulangan hariannya itu. Ia terduduk menangis sejadi-jadinya. "Maaf Ibu, aku melanggar pesan Ibu kali ini, aku gak bisa gak menangis," ucapnya dengan suara parau.
Daffa terus menangis. Dirinya tidak menyangka orang yang sangat ia cintai pergi begitu saja. Ia tidak akan tau bagaimna selanjutnya tanpa ibunya.
Mengingat pertengkaran hebat tadi, ia merasa kecewa pada ayahnya. Seorang Ayah yang sangat ia banggakan, membuat Ibu bersedih dengan cara yang Daffa tidak mengerti.
"Kenapa Ayah? Kenapa Ayah buat Ibu sedih?" Tanyanya walau ia tahu tidak akan ada yang menjawabnya karena ia sedang sendiri di kamar saat ini.
Matanya menangkap salah satu fotonya bersama ayahnya dan ibunya. Mata mengarah ke Ayah yang sedang merangkul ibunya.
Sorot mata ayahnya yang tajam, kulit yang kecoklatan, dagu yang tegas, dengan janggut-janggut tipis menutupi dagunya. Ayahnya memang terlihat dewasa dari fisiknya, namun menurut Daffa ayahnya bersifat kekanak-kanakan karena membuat ibunya menangis.
Melihat foto ayahnya itu, rasa benci dan tidak suka muncul dari hati Daffa. Emosinya tidak terkendalikan saat ini. Ia benci, kecewa, sedih, tidak suka pada ayahnya saat ini.
Tapi apalah daya Daffa, ia harus menjaga ayahnya sesuai dengan pesan ibunya.
Namun biarpun juga, ia benci pada ayahnya saat ini.
***
Gimna feelnya? Dapet nggak?
KLO NGGAK...
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Yaudah hehehe..
Jgan lupa vomment say
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Broken
Teen FictionAku menyukai dia yang terluka. Dirinya bagaikan kaktus yang berduri dan aku bagaikan balon. Balon dan kaktus tidak dapat bersatu, sedangkan aku dan dia.. Mungkin.... Amazing cover by @katrinapradnya 9 Mei 2017