"I know how it feels
.....Lying here all alone
Just thinking about her"
Tell Her - Jesse McCartneyAnggi menghentikan mobilnya di parkiran salah satu Departemen Store di Jakarta. Tangannya teralih mengunci mobil mini berwarna hitam miliknya tetsebut. Dibenarkannya posisi tasnya yang teransel rapi di punggungnya.
Deru nafasnya ia hembuskan secara pasti. Kata-kata dalam otaknya terus dirangkainya menjadi sebuah kalimat yang bisa dibilang cukup bagus.
Tangan kanannya ia gunakan mengusap cardigan hijau yang dikenakannya. Semilir angin sore hari membuat beberapa helaian anak rambutnya yang tak dapat dijangkau oleh kuciran rambutnya bergoyang mengikuti arah angin.
Kedua kakinya dilangkahkannya menuju Departemen Store yang kini ramai oleh pengunjung tersebut. Senyuman kecil ia arahkan ke petugas yang kini tengah berjaga di pintu depan Departemen Store tersebut.
"Eh non Anggi. Cari tuan Hendra, ya?" tanya petugas yang menggunakan seragam berwarna hitam tersebut disertai dengan senyuman sopannya.
Dibalasnya Anggi dengan senyuman sopan. Jari telunjuknya ia arahkan menuju tempat yang kini ditujunya. "Tuan Hendra ada diruangannya, kan?" Anggi memastikan.
Dengan sopan, petugas tersebut mengangguk.
"Oh, kalo gitu saya ke ruangan Tuan Hendra dulu. Makasih, ya."
Sebersit senyuman terima kasih terhiasi di wajahnya, menatap petugas tersebut. Kedua matanya ia alihkan di ruangan dimana hanya diperuntukkan bagi pekerja dalam pusat perbelanjaan tersebut. Kedua kakinya diseret menuju ruangan tersebut, mencari Ayah dari Daffa dalam ruangan kebesarannya.
Kini, tubuhnya berdiri di ruangan kebesaran milik Ayah dari Daffa tersebut. Ditatapnya tulisan yang tercetak besar di pintu berwarna kecoklatan tersebut. 'Hendra Nataniel Sanjaya' Tulisan nama dari Ayah Daffa tersebut tercetak secara rapi di pintu tersebut.
Tangan kirinya digunakannya untuk mengetuk pintu tersebut beberapa kali, sedangkan tangan kanannya digunakannya memutar kenop dari pintu ruangan kebesaran Ayah dari Daffa itu.
Diliriknya Ayah Daffa yang kini tengah duduk santai di kursinya dengan ponsel ditangannya. Kedua tangannya digunakannya menutup pintu secara pelan juga tanpa suara. Jari jemarinya ditautkan tepat dibawah lipatan baju seragamnya.
Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman canggung, "Selamat sore, Om!" serunya dengan nada sedikit tinggi sehingga membuat Hendra mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
Hendra tersenyum ketika dilihatnya Anggi yang baru saja menyapanya. Ia berdiri, menyambut Anggi masih dengan senyuman lebarnya. "Eh Anggi, kenapa gak bareng sama Daffa?" Tangannya diarahkannya ke sofa yanh berada dekat dengan meja kerjanya, menyuruh Anggi untuk duduk.
Anggi duduk tepat di depan Hendra yang baru saja duduk di sofanya dengan kaki kanan yang berpangku pada kaki kirinya. Anggi menelan ludahnya, "Jadi gini Om, aku mau ngasih tahu sesuatu tentang Daffa," jelasnya.
Hendra terkekeh. Berbuat masalah di sekolah mungkin adalah makanan sehari-hari dari Daffa dan Hendra jujur sudah lelah mendengarnya. Biarlah Daffa menghabiskan waktunya bersenang-senang dengan sahabatnya dengan syarat dirinya harus mematuhi apa yang dikatakan ayahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Double Broken
Ficção AdolescenteAku menyukai dia yang terluka. Dirinya bagaikan kaktus yang berduri dan aku bagaikan balon. Balon dan kaktus tidak dapat bersatu, sedangkan aku dan dia.. Mungkin.... Amazing cover by @katrinapradnya 9 Mei 2017