"Mother, how are you today?"
Maywood***
"Daffa, sini kamu!" seru Hendra sembari menarik lengan Daffa. Kedua kakinya ia arahkan menuju ke mobil sedan hitamnya yang terparkir di taman yang berada di depan rumahnya.
Daffa memutar kedua bola matanya dengan malas. Sedikit berdecak, "Kenapa lagi, sih?!" tuturnya dengan kesal.
Tubuhnya masih saja dibalut seragam putih abu-abu juga tas yang belum ia keluarkan dari punggungnya. Sepatu berwarna hitam masih saja terpasang secara rapi dalam kakinya.
Dihembuskannya napasnya secara perlahan. Secara terpaksa, kedua kakinya ia seret mengikuti arah langkah ayahnya yang masih saja mencengkram lengannya dengan eratnya. Ia yakin lengan yang dicengkram oleh ayahnya pasti akan menimbulkan bercak-bercak merah nanti.
Sedangkan Hendra hanya diam, tak ada hirauan dari jawaban Daffa yang disertai dengan kekesalan. Matanya terarah menuju mobil yang diparkirkan di taman di rumahnya, begitu juga dengan kedua kakinya.
Kembali, Daffa menghembuskan napasnya secara perlahan. Entah sudah kali keberapa dirinya menghembuskan napasnya. Emosinya terhadap ayahnya berusaha untuk ia kontrol. Tak ada gunanya bertengkar kini. Dirinya sangat lelah, dirinya sudah sangat lelah berakting layaknya dirinya baik-baik saja hari ini.
Genangan demi genangan air yang tersisa akibat hujan deras yang baru saja reda membuat sepatunya yang baru saja kering dari air hujan, kembali meninggalkan bercak-bercak air di sepatunya.
Dinginnya angin yang berhembus sehabis hujan membuat bulu-bulu di kulit Daffa berdiri. Rasa dingin yang menusuk hingga ke dalam kulitnya sama sekali tak ia hiraukan. Jaket miliknya mungkin lebih baik ia berikan pada Laura yang tadi terlihat merasa dingin.
Ia tak peduli dengan berbagai mata-mata dari ayahnya yang mungkin sudah memotret kejadian tadi. Toh, ia sudah punya alasan untuk membuat ayahnya tak menimbulkan kerusuhan di dalam rumah.
Hendra berdehem, "Saya ingin membawa kamu ke suatu tempat," tuturnya tanpa membalikkan tubuhnya ke belakang, menatap lawan bicaranya. Tak ada nada suara kemarahan yang dikeluarkannya. Raut wajahnya sama sekali tak menujukkan senyuman, tetapi tak ada juga pancaran raut kemarahan di wajahnya.
Dalam lubuk hatinya, ia harap perasaan marah dan kecewa dalam diri Daffa hilang sirna diantara mereka. Ia harap kejutannya ini akan membuat Daffa bahagia, setidaknya sekali ini saja.
Daffa memutar kedua bola matanya sembari tersenyum miring. Mulutnya sama sekali tak mengeluarkan bantahan ataupun sepatah kata pun. Sangat malas dirinya untuk berargumen dengan ayahnya kini. Sangat malas dirinya untuk menghiraukan ucapan ayahnya kini.
Sebelah tangan Hendra menarik kenop pintu mobil sedan hitamnya. Kepalanya sedikit ia tolehkan untuk menatap Daffa. "Masuk!" pintanya sembari mengisyarakan Daffa untuk masuk ke dalam mobil.
Untuk kesekian kalinya, Daffa kembali menghela napasnya berat. Kedua kakinya dengan gerakan malas memasuki mobil sedan berwarna hitam tersebut.
Sama sekali tak ada bantahan yang keluar dari mulut Daffa. Sudah sangat lelah dirinya untuk bertengkar dengan ayahnya. Juga mungkin memang tak ada gunanya beradu mulut dengan ayahnya, karena ia tahu ayahnya selalu benar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Double Broken
TienerfictieAku menyukai dia yang terluka. Dirinya bagaikan kaktus yang berduri dan aku bagaikan balon. Balon dan kaktus tidak dapat bersatu, sedangkan aku dan dia.. Mungkin.... Amazing cover by @katrinapradnya 9 Mei 2017