Part 21

3.5K 232 63
                                    

"That i didn't need love to be complete
Guess i didn't know
That i just got this crazy feeling"
Crazy - Shawn Mendes

Ketukan pintu menggema dengan nyaringnya dalam ruangan tidur milik Laura. Sedetik kemudian muncul wanita berumur empat puluh tahunan dengan senyuman tersungging di wajahnya sembari membawa piring di tangannya.

Laura berdecak kesal, "Ish, Ibu dibilangin jangan masuk kalo belum dibukain," tutur Laura.

Cengiran dalam wajah wanita yang merupakan Ibu dari Laura semakin menjadi-jadi. Dirinya sama sekali tak menggubris kekesalan dari anaknya. "Nih, Ibu bawa pisang goreng," ujarnya, kedua tangannya ia sodorkan ke arah Niken yang tak jauh dari hadapannya kini.

Diterimanya sepiring pisang goreng yang disodorkan Ibu dari Laura dengan raut wajah antusias, "Wah, pisang goreng," ujar Niken dengan semangat. Matanya meneliti pisang goreng yang diberikan Ibu Laura, kedua alisnya tertaut membentuk kerutan, "Tapi kok nggak ada sambelnya?" tanyanya dengan kepalanya yang ia tolehkan ke arah Ibu Laura dengan bingung.

Ibu Laura tersenyum dengan polosnya, "Sorry yah, Ibu lagi males soalnya."

Shania memiringkan kepalanya melihat sepiring pisang goreng yang saat ini berada di tangan Niken. Shania memelas, "Yha, Ibu nggak bikin sambel." Bibirnya ia manyunkan mendesah dengan kesal.

Ibu Laura memang sudah sangat dekat dengan Niken dan Shania sehingga kedua sahabat dari Laura tersebut tidak perlu merasa canggung jika harus bertemu dengan Ibu dari Laura tersebut. Sejak Laura pindah ke Jakarta, sejak itu pula kedua manusia itu sering berkunjung ke rumahnya yang menyebabkan Ibu milik Laura tersebut menjadi sangat akrab dan berbicara layaknya remaja umumnya.

Tidak peduli berapa lama Shania dan Niken berkumpul di rumah Laura, orang tua mereka tidak akan takut ataupun khawatir karena orang tua mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Begitu pula dengan Laura, ibunya ataupun ayahnya tidak akan memarahinya jika ia berlama-lama di rumah salah satu diantara mereka berdua.

Kedua tangan Ibu Laura ia tautkan satu sama lain, "Biasalah udah tua jadi cepat capek. Kalian lagi ngomong apa ya?" tanya Ibu Laura dengan wajah antusias dan mata berbinar.

Laura menghela napasnya. Jika kedua sahabatnya itu mengizinkan ibunya bergosip bersama mereka kini, kemungkinan besar pertanyaan yang terputar-putar di benak saat ini tak akan ia lontarkan pada kedua manusia gila di kamarnya ini sehingga menyebabkan Laura tak dapat tidur semalaman memikirkan pertanyaan yang membuatnya sangat bingung dari beberapa jam yang lalu.

Laura bangkit dari tidur-tidurannya di kasurnya. Didorongnya ibunya secara perlahan dengan kedua tangannya menuju pintu keluar kamarnya. "Ibu makanya ajak temen arisan Ibu kesini biar pada gosip tuh tujuh hari tujuh malam," oceh Laura. Dengan sigap, Laura mengunci pintu kamarnya ketika memastikan ibunya sudah benar-benar diluar kamarnya.

Dirinya menghembuskan napasnya kemudian berlari kecil menuju kasurnya. Tubuhnya ia baringkan dengan kedua tangan yang terentang ke samping. Matanya menatap langit-langit putih kamarnya.

Kembali mengingat insiden yang terjadi tadi. Mengingat betapa pasrahnya wajah Daffa. Mengingat betapa kejamnya lelaki yang membawa Daffa. Mengingat betapa terpukulnya wanita yang ditemuinya.

Khawatir akan Daffa? Iya, saat ini dia sungguh khawatir. Beberapa kali dirinya mencoba melakukan free call dengan Daffa tetapi sama seperti tadi, Daffa sama sekali tak mengangkatnya. Entah sudah berapa kali dirinya melakukan hal yang cukup membosankan bagi orang lain tersebut hingga ponselnya mati menandakan baterainya telah habis.

Double BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang