Part 53

6K 220 38
                                    

"Hapuslah air matamu
dan lupakanlah aku"
Dygta - Tak Bisa Memiliki

***

Tubuh Daffa membatu seketika. Disamping keterkejutan, wajahnya juga memancarkan aura kemarahan. Kedua tangannya dikepalkan dengan kuatnya.

Ia tak percaya. Mereka mengkhianatinya. Dia kira ayahnya sudah berubah, berubah karena ibunya telah kembali ke rumah. Berubah karena ia sendiri yang membawa Ibu ke rumah. Namun memang benar, jangan bermimpi tinggi karena realita akan menyakitkan nantinya.

Natasha menoleh karena merasakan ketidakhadiran Daffa disisinya. Kedua kakinya ia langkahkan mundur untuk mendekati Daffa. Rasa khawatir juga bersalah menggelutinya. Kedua tangannya berusaha menggenggam kedua tangan Daffa yang terkepal. "Dengar, nak. Sebenarnya Ibu nggak bermaksud buat lakuin ini sama kamu. Ibu minta maaf, nak."

Kehangatan akibat kedua tangannya yang diselimuti oleh kedua tangan ibunya membuatnya sedikit merasa tenang. Daffa tersenyum meskipun itu hanyalah senyuman paksa, "Aku tahu Ibu pasti gak akan lakuin ini sama aku," tuturnya dengan nada menenangkan.

Kedua mata Daffa menatap ayahnya yang kini tengah sibuk mengobrol dengan orangtua Anggi. Tatapannya nanar juga menyimpan seluruh rasa ketidaksukaan di dalamnya. Rasa tidak suka juga amarahnya semakin mendalam melihat ayahnya yang bisa tertawa lepas bersama orangtua Anggi disamping begitu menderitanya Daffa kini.

Pikiran Daffa sudah tak karuan. Ia tidak akan mau melakukan ini. Kini tingkatan perasaannya pada ayahnya bukan lagi rasa tidak suka melainkan rasa benci. Ya, kini Daffa benci pada ayahnya. Mungkinkah memang ayahnya tak pernah menganggapnya sebagai anaknya.

Daffa melepaskan genggaman ibunya. Kedua kakinya melangkah membawa menuju ke arah dimana ayahnya tengah mengobrol. Ia sudah sangat muak akan ayahnya. Pikirannya kalut, tak ada lagi selain rasa kebencian pada yahnya yang mampu dipikirkannya saat ini.

Natasha berlari kecil kemudian memegang bahu Daffa. Natasha menggeleng, "Jangan Daffa. Untuk sekarang jalani aja, jangan lakuin hal seperti itu," tuturnya dengan suara yang serak. Air matanya sudah berada di penghujung matanya. Bulir-bulir air itu hampir saja lepas dengan tenangnya keluar dari matanya.

Dengan kasar tangan Daffa menarik lengan Hendra tanpa meminta izin sedikit pun pada kedua orangtua dari Anggi, tidak sopan memang. Sembari menarik lengan ayahnya, Daffa mengarahkan kakinya menuju tepat ditengah-tengah ruangan membiarkan seluruh tamu mengetahui betapa kejamnya ayahnya.

Dilepaskannya tangan ayahnya dengan kasar ketika sudah dipastikannya dirinya dan ayahnya sudah berdiri ditengah-tengah ruangan. Daffa menyengir, "Mau lo apa? Lo gak capek liat orang menderita? Hah!?" bentaknya masih dengan tatapan nanarnya.

Seluruh tamu terkejut, pergerakan seluruh tamu terhenti. Kedua mata mereka terarah pada pertengkaran yang terjadi dengan mimik wajah yang menampakkan keterkejutan. Suasana ruangan berubah menjadi hening, tak ada lagi yang mampu berbicara sepatah katapun dengan nada keras. Terkecuali suara bisikan yang mengudara.

Natasha segera berlari ke arah pertengakaran antara Ayah dan anak dengan tujuan untuk melerai setiap peserta dari pertengakaran tersebut. Namun langkah kakinya terhenti dengan jarak sekitar empat langkah lagi, karena Hendra membuka suara sehingga Natasha merasakan pertengakaran ini tak usah untuk dilerai.

Hendra menghela napasnya perlahan, berusaha untuk menenangkan dirinya. "Ini juga demi kebaikanmu, nak."

Daffa tertawa sumbang mendengar kata terakhir yang diucapkan ayahnya. Kata yang terdengar sangat sensitif di telinganya sehingga membuat rasa kebencian terhadap ayahnya semakin mendalam. Tawa sumbangnya menggema di ruangan yang seakan hanya dihuni oleh dua orang, yaitu dia sendiri dan ayahnya.

Double BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang