Part 4

8.9K 578 190
                                    

"And i don't even know your name
All i remember is that smile on your face"
I Don't Even Know Your Name - Shawn Mendes

***

Beberapa bulan kemudian....

Langkah kaki Daffa mengarahkannya ke arah ruang kerja milik ayahnya. Ia mengetuk pintu ruang kerja ayahnya itu. Dirinya saat ini sudah kembali ke Indonesia, negara yang dia benci itu. Ia sudah memikirkan hal yang harus dikatakannya pada ayahnya sejak pesawatnya sudah take off.

Hendra yang sedari tadi sedang membuka-buka beberapa kertas yang berisi keuntungan penjualan pakaian di salah satu tokonya terganggu oleh suara ketukan pintu. Hendra melirik pintu itu sejenak kemudian mengalihkan kembali matanya ke kertas-kertas itu, "Masuk," teriaknya.

Daffa memutar kenop pintu dan pintu berwarna coklat itu terbuka memperlihatkan ayahnya yang sedang sibuk memutar balikkan kertas-kertas di meja kerjanya itu. Ia melangkah ke arah ayahnya tepat di depan meja kerja ayahnya itu.

Hendra menyadari seseorang telah masuk ke dalam ruang kerjanya itu. Ia kemudian menengadahkan kepalanya ke atas melihat anaknya yang baru saja datang. "Kamu ternyata udah sampai. Kamu kenapa datang kesini, kamu butuh uang? Atau kamu gak suka sekolah disana? Kalo kamu butuh uang telpon aja bilang berapa uang kamu butuh ntar aku kirimin," jelas Hendra kemudian kembali ke kegiatan membolak-balikkan kertas seperti tadi.

Daffa terkekeh, "Lo kira uang bisa bikin orang selamanya bahagia? Bagi gue enggak, gue mau bahagia, yah. Gue mau Ibu kembali kesini, gue mau Ibu gue kembali," mohonnya.

Begitulah cara bicara Daffa pada ayahnya. Sungguh tidak sopan bukan? Hal itu sudah terjadi dari sejak ibunya pergi meninggalkannya. Dan sejak itu, dia selalu membantah apa yang dikatakan ayahnya.

Hendra mengepalkan tangannya dan menghentakkannya secara kasar di meja kerjanya. Ia kemudian berdiri dan langsung menampar anaknya itu, "BERHENTI BICARA TENTANG IBUMU, IBUMU SUDAH TIADA," bentaknya dengan mata yang melebar dan memerah.

Tangan Daffa teralih mengusap pipi kanannya yang telah ditampar oleh ayahnya. Ia tersenyum sinis melihat adanya noda darah di pipinya, "Makasih yah, setidaknya ini bikin gue cukup bahagia," ujarnya dengan nada sinisnya dan memutar balikkan tubuhnya sebelum dirinya teringat sesuatu. Ia berbalik kembali, "Oh iya yah, gue mau kembali lagi ke sekolah gue yang dulu," katanya sebelum benar-benar berlalu meninggalkan ayahnya.

Hendra yang masih berusaha menetralkan emosinya menoleh kembali ke arah Daffa. Permintaan itu, permintaan yang cukup aneh bagi sebagian orang. Namun, ia membiarkan saja anaknya itu. Ia tak peduli.

--------

Seseorang mengetuk pintu kamar Daffa mengganggu aktivitas yang Daffa lakukan saat ini. Dirinya sedang mengenakan sepatu lamanya berharap sepatu itu masih pas dengan ukuran kakinya. Hari ini adalah hari dimana Daffa kembali pada sekolah lamanya yaitu SMA Pelita Harapan. Entah kenapa dirinya kembali lagi ke sekolah penuh petaka itu.

Untunglah, seragam lamanya masih cocok dikenakannya dikarenakan berat badannya tidak pernah naik ataupun turun. Berat badannya tetap sama.

"Mas Daffa, cepetan! Tuan Hendra udah tungguin dibawah," sahut salah satu pembantu rumahnya masih dengan gerakan mengetuk pintu kamar Daffa.

Mata Daffa melebar, kaget. Tumben banget tuh ayah durhaka tungguin gue batinnya.

Setelah menyelesaikan kegiatan mengenakan sepatu, ia mengambil tas adidas hitamnya dan mengenakannya di bahu kanannya. Ia beralih membuka pintunya dan dilihatnyalah pembantu rumahnya yang terlihat khawatir.

Double BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang