"I see those tears in your eyes
I feel so helpless inside"
Tired - Alan Walker ft. Gavin James"Makasih, Pak!" seru Laura dengan senyuman sopan sembari menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan.
Driver go-jek tersebut memberikan beberapa lembar uang dua ribuan sebagai kembalian dari uang Laura, "Nih kembaliannya, dek."
Laura mengangguk dengan sopan kemudian disusul oleh motor matic yang dikendarai driver go-jek tersebut berlabuh entah kemana. Ia membalikkan tubuhnya dengan kedua kakinya yang berjalan memasuki gerbong sekolah.
Hawa sejuk pagi hari seakan menusuk kulitnya yang sudah siap sedia mengenakan jaket berwarna merah muda. Kedua tangannya ia gunakan untuk memeluk tubuhnya.
Matahari menyembunyikan tubuhnya di antara awan-awan yang berkerumunan membentuk gumpalan-gumpalan indah di atas langit. Laura menatap langit sembari menghembuskan napas pelan. Langit seakan diwarnai oleh pencipta dengan krayon berwarna biru yang sudah ditentukannya. Warna hitam sama sekali tak mengganggu langit berwarna biru tersebut. Awan-awan dibentuk sedemikian mungkin menjadi gumpalan-gumpalan kapas berwarna putih. Pertanda mengenai cuaca buruk, sama sekali tak terlihat.
Kini, Laura sudah memasuki gerbong sekolahnya. Tak lama lagi dirinya akan memasuki kelasnya. Pikirannya masih saja dipenuhi oleh kejadian tadi malam. Sticky notes yang ditulis Daffa entah kapan, membuat kedua alisnya bertaut satu sama lain. Dirinya menjadi bertambah penasaran akan apa yang terjadi pada Daffa.
Apa hal-hal yang ia sembunyikan? Dan mengapa harus ia sembunyikan?
Oke, mungkin pertanyaan terakhir sudah dijelaskan Daffa beberapa minggu yang lalu. Namun, mengapa Daffa harus menyembunyikannya dari Laura yang berstatus sebagai pacarnya? Atau apakah Laura yang terlalu memaksa?
Laura menelan ludahnya. Seorang pacar juga harus mengerti, tak perlu mengetahui banyak hal tentang masalah yang penting. Tetapi, rasa penasarannya juga sama sebanding dengan rasa tak inginnya.
Kepalanya ia balik, matanya secara tak sengaja melihat Daffa yang kini sedang menyisir rambutnya dengan jari-jemari tangan kanannya dengan kaca spion motornya menjadi cermin bagi Daffa.
Merasa diperhatikan, Daffa berbalik. Matanya mencari-cari sosok yang memperhatikannya. Cengiran lebar terpampang di wajahnya, melihat Laura yang menatapnya. Kedua tangannya teralih merapikan posisi jaket berwarna merah yang dikenakannya. Rambutnya yang basah akibat keramas, sedikit ia kibaskan. Kedua kakinya ia langkahkan menuju tempat dimana Laura berdiri kini.
Laura dengan jelas dapat melihat kantung di bawah mata Daffa. Tatapannya memang ceria, namun Laura tahu ada kesedihan di dalamnya. Mata Daffa masih sedikit memerah. Senyumannya terlihat dipaksakan di mata Laura. Ikut tersenyum, namun senyuman yang terukir hanya senyum kaku.
Daffa dengan sigap mengaitkan jari-jemari tangan kanannya di jari-jemari tangan kiri Laura. Ia menatap Laura dengan cengirannya, "Halo pipi bakso!" sapanya.
Suaranya yang sedikit serak berusaha ia sembunyikan. Semenjak dirinya sudah pulang dari rumah Laura subuh tadi, ia sama sekali tak dapat tidur. Hatinya perih. Matanya hampir saja mengeluarkan hujan yang tidak diinginkannya. Dadanya sesak dengan napas tak beraturan. Rasanya pahit mengetahui hal yang tidak diperkenankan muncul dalam hidupnya. Hidupnya layaknya kapal pecah yang entah bagaimana dapat diperbaiki.
Namun, semua ditutupinya dalam senyuman. Hatinya yang lama-kelamaan terkikis secara perlahan. Luka yang disembunyikannya yang mungkin tak dapat sembuh.
Kedua alis Laura bertaut satu sama lain. Tatapannya mengarah ke Daffa dengan ragu-ragu. Ia berjalan diikuti oleh Daffa dengan tangan yang tertarik, mengarah ke mushola yang tak jauh dari mereka kemudian duduk di salah satu anak tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Broken
Teen FictionAku menyukai dia yang terluka. Dirinya bagaikan kaktus yang berduri dan aku bagaikan balon. Balon dan kaktus tidak dapat bersatu, sedangkan aku dan dia.. Mungkin.... Amazing cover by @katrinapradnya 9 Mei 2017