"Can we just go back to being us again?"
Rain - The Script***
Rintik demi rintik hujan membasahi setiap pelosok bumi kini. Pancaran warna terang dari awan digantikan oleh pancaran warna gelap oleh awan lainnya. Sinar matahari sedikit terhalangi oleh awan hitam yang menggantikan awan yang terang.
Air hujan membasahi setiap daratan meninggalkan genangan kecil di tengah jalanan. Para pengendara motor berteduh pada setiap pepohonan ataupun warung yang mempunyai teras luas. Suara gemuruh mengganggu pendengaran dalam telinga Laura.
Sudah hampir dua jam dirinya menunggu kedatangan ibunya untuk menjemputnya. Sudah hampir dua jam juga dirinya berdiam diri di halte yang hanya menyisakan dirinya seorang.
Matanya memandang setiap mobil yang melewati jalanan di depannya dengan tatapan khawatir. Khawatir ibunya yang tak kunjung datang. Sesekali jarinya kembali membuka pesan yang sedari tadi dikirimkannya untuk ibunya, berharap adanya balasan dari pesan itu.
Mungkin, hari ini ada hari sialnya. Kalau uangnya tidak habis, sedari tadi dirinya pasti sudah pulang menaiki bus ataupun angkot.
Hujan deras terus saja mengguyur kota Jakarta sudah hampir satu jam. Air-air yang turun dari langit dengan banyaknya itu ditemani oleh angin yang ikut meramaikan langit bersedih.
Meskipun hari masih sore, angin yang menyertai hujan deras tersebut sungguh menusuk kulit. Kedua tangan Laura digunakannya untuk memeluk tubuhnya sendiri sembari sesekali mengelus-elus kulit lengannya yang kedinginan.
Memang benar hari ini adalah harinya yang sungguh sial. Jaket dan payung juga lupa untuk dibawanya.
Kedua arah matanya mengedar, memandangi langit yang masih saja terus menorehkan kesedihannya. Belum ada tanda-tanda kesedihan langit akan tergantikan menjadi kebahagiaan.
Tanpa sengaja, penglihatannya terkunci oleh satu objek yang berada disebrang jalan tengah berdiri juga menatapnya sama seperti Laura yang kini menatap objek tersebut. Sama sekali tak sekalipun pandangan matanya teralihkan oleh objek tersebut.
Daffa menatap sosok Laura yang berdiri tepat disebrang jalan. Meskipun dihalangi oleh derasnya hujan, matanya masih bisa melihat dengan jelas sosok Laura yang berada disebrang jalan.
Sebelah tangannya memegang payung, sedangkan sebelah tangan lainnya ia jejalkan dalam saku celananya.
Mendapati suasana kendaraan yang berlalu-lalang cukup sepi, membuatnya dapat menerobos jalan raya ditengah hujan deras.
Kedua kakinya ia langkahkan dengan langkah santai. Genangan air yang tersisa di jalanan, membasahi sepasang sepatu hitam yang dikenakannya. Namun, tak ada pedulinya sama sekali akan hal itu.
Pemilik tatapan sayu itu semakin mendekat pada posisi Laura saat ini. Tubuh Laura bergeming di tempatnya kini berdiri. Tak ada gerakan tangan maupun kakinya yang berubah. Matanya sama sekali tak dimalingkannya dari Daffa.
Kini, Daffa berdiri tepat di depan Laura. Payung yang dipegangnya tadi sudah diletakkannya tepat di samping dimana dirinya berdiri kini. Matanya menatap Laura dengan tatapan sayu. Tak ada gerakan anggota tubuh mereka sama sekali selama beberapa detik, hanya saling bertatapan satu sama lain.
Mata Laura masih terus mengarah pada Daffa. Mulutnya tak mampu berkata apa pun. Jantungnya berdetak melebihi batas normal. Rasa rindu akan Daffa yang dulu kembali menggeluti seluruh hatinya.
Daffa kemudian menghela napasnya. Kepalanya menunduk, mengakhiri suasana saling bertatapan tersebut. Ya, dia yang akhir-akhir ini lebih dahulu memalingkan matanya dari tatapan Laura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Broken
Teen FictionAku menyukai dia yang terluka. Dirinya bagaikan kaktus yang berduri dan aku bagaikan balon. Balon dan kaktus tidak dapat bersatu, sedangkan aku dan dia.. Mungkin.... Amazing cover by @katrinapradnya 9 Mei 2017