Part 44

2.1K 150 31
                                    

"When I should, but I can't, let you go"
Everglow - Coldplay

Laura melangkahkan kakinya di trotoar jalanan kota Jakarta. Kepalanya menunduk, menatap kedua kakinya yang terus berjalan di trotoar.

Hatinya masih terasa sakit setiap mengingat kejadian tadi. Dirinya masih terus berusaha melupakan apa yang baru saja terjadi. Berkali-kali ia mencubit tubuhnya sendiri berharap yang baru saja terjadi hanyalah bagian dari khayalannya, namun ternyata hal itu sia-sia saja tak ada gunanya sama sekali.

Angin sepoi-sepoi menusuk kulit dari Laura. Anak-anak rambutnya sedikit berterbangan sehingga membuatnya menata beberapa rambutnya yang diterbangkan angin.

Langkah kakinya terhenti. Angin sepoi-sepoi yang tak sengaja bertiup itu menarik perhatiannya. Ia menoleh, kemudian dilihatnya sebuah taman kota yang kini terlihat sepi mengingat hari masih siang. Matanya mengamati sesaat taman kota yang sudah ditata rapi oleh petugas kebersihan.

Ketertarikannya semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Kakinya ia arahkan menuju bangku semen yang berada dalam taman kota tersebut. Sembari melangkahkan kakinya ke arah bangku semen, matanya memandang berbagai jenis tanaman yang terdapat dalam taman kota tersebut.

Bokongnya ia daratkan pada bangku yang terbuat dari semen tersebut. Kedua tangannya digunakan mencengkram ujung-ujung dari bangku. Matanya menerawang lurus ke depan, sedangkan pikirannya kalut.

Benaknya terus memikirkan kejadian yang baru saja terjadi, walaupun dirinya sendiri memang sudah berusaha melupakan hal itu. Hatinya terus-menerus seakan dicubit ketika perkataan Ayah dari Daffa terulang-ulang dalam pikirannya layaknya hal itu adalah musik yang terus di-replay.

Angin sepoi-sepoi yang bertiup siang hari itu menemani rasa pedih yang tercipta dalam hatinya.

Ia memejamkan matanya sejenak kemudian menghembuskan napasnya secara pelan. Kedua matanya ia buka dan tanpa sengaja melihat Rhasel yang kini terburu-buru menyalakan mesin motornya.

"Rhasel!" teriaknya.

Rhasel tadinya berniat untuk segera menuju ke rumah Safat, teralihkan perhatiannya melihat Laura yang tengah duduk sendiri di taman kota sembari sesekali tersenyum getir. Ia berhenti sejenak seraya mematikan mesin motornya. Ia turun dari motornya, tak lupa membuka helmnya.

Tubuhnya berdiri, memandang Laura dari posisi yang bisa dibilang cukup jauh. Kakinya hampir saja melangkah menuju Laura, namun segara ia urungkan.

Dengan terburu-buru, ia melompat ke arah motornya. Tangannya merogoh saku celananya, mencari-cari kunci motor didalamnya akibat Laura yang tersadar bahwa ia sedang memandangnya dari jauh.

Tak lama, suara teriakan Laura terdengar jelas di telinganya sedang memanggil namanya. Ia menoleh dengan kening yang mengernyit. Tatapan matanya bertemu dengan Laura.

Laura menengadahkan kepalanya sembari memberi kode pada Rhasel untuk menghampirinya.

Dengan ragu, Rhasel turun kembali dari motornya. Kedua kakinya dilangkahkannya ke arah Laura. Pikirannya bertanya-tanya mengapa tiba-tiba Laura menjadi sedikit antusias terhadapnya. Kernyitan di keningnya terlihat jelas di wajahnya.

Ia duduk tepat disamping Laura. Sebelah alisnya terangkat sembari menatap Laura, "Gak salah lo manggil gue?" tanyanya.

Laura menganggup dengan pasti. Matanya masih menatap lurus ke depan. "Gak salah lagi. Emangnya ada hukum yang larang gue manggil lo?" ujarnya sembari tertawa kecil, walaupun tawanya hanya terpaksa.

Rhasel ikut tersenyum kecil. Ia terdiam sejenak. Matanya mengamati Laura dari posisinya kini. Berdehem kemudian membuka suara, "Kenapa lo manggil gue? Kan lo benci gue, lo selalu hindari gue. Apa yang buat lo manggil gue setelah sekian lamanya?"

Double BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang