Part 22

3.2K 220 51
                                    

"Are the stories that i can explain
I leave my heart open
But it stays right here empty for days"
Story Of My Life - One Direction


Laura berjalan mondar-mandir dalam bilik kamar miliknya dengan kedua tangan yang digunakan memegang ponselnya. Tak lupa dengan bibir yang ia gigit. Sedari tadi dirinya terus berkutat pada ponselnya. Bingung sekaligus ragu-ragu.

Bingung ingin mengirim pesan pada Daffa atau tidak. Bingung ingin mengajaknya ketemu atau tidak.

Hati dan pikirannya berperang lagi, memperebutkan pemenangnya kali ini. Memang begitulah seorang cewek, mereka gengsi jika harus memulai topik pembicaraan lebih dahulu. Dan begitulah siklusnya seterusnya.

Matanya kembali menatap ponsel yang digenggamnya, dilihatnya ruang chatnya dalam Line bersama Daffa yang dipenuhi dengan spam free call darinya yang hanya di-read oleh Daffa. Jari-jemarinya kemudian dengan cekatan mengetik beberapa kata yang terus ia rangkai dalam pikirannya. Tak lupa juga dengan jantungnya yang berdegup begitu kencang mengetik kata-kata tersebut.

Laura memiringkan kepalanya, membaca ulang apa yang sudah diketik jarinya. Kepalanya ia geleng-gelengkan kemudian, menghapus kata-kata yang dirangkainya dengan satu ketukan.

Diliriknya ponselnya lagi, secara kesal. Rambutnya ia acak-acakkan secara kasar, terduduk dengan kaki yang ia silangkan. Ponselnya ia pukul-pukul di pahanya. "Mati aja lo sana," umpatnya sembari menatap ponselnya dengan tajamnya.

Dilemparkannya ponselnya tak jauh dari posisinya kini dengan kesal. Mengacak-acak rambutnya lagi dengan kasarnya. "Males banget gue kek gini. Untung-untung di gue suka, kalo gak dah gue bunuh daritadi," ujarnya dengan kesal.

Kembali ditatapnya ponselnya yang ia banting tadi. Menghembuskan nafasnya kemudian mengangguk yakin. Sebelah tangannya digunakan mengambil ponsel yang tergeletak secara miris tak jauh darinya.

Jari-jemarinya teralih membuka chat room-nya dengan Daffa. Ditulisnya beberapa rangkaian kata yang sudah dipikirnya dari tadi. Jari jempolnya kemudian bergeser secara lamban menuju tombol kirim. Matanya ia tutup sambil mengigit bibirnya. Jantungnya berdebaran tak menentu juga udara yang terasa hampa disekitarnya.

Kedua matanya kemudian ia buka, melihat pesan yang sudah dikirimnya itu. Ditelannya air ludahnya dengan bibir yang masih ia gigit. Kedua alis matanya terkerut, malu melihat pesan yang dikirimnya.

Laura : Hai! Sedang apa?

Laura kembali mengerang kesal. Ponselnya ia matikan, kemudian membalikkan posisinya sehingga dirinya tak melihat layarnya. Rambutnya ia gunakan menutupi wajahnya saat ini, malu. Kakinya juga ia geser-geser secara kasar.

Kedua matanya membulat sempurna ketika mendengar bunyi panggilan suara dari aplikasi Line. Jari telunjuknya ia gigit, takut. Dirinya mengambil ponsel yang berada disampingnya dengan tangan yang gemetar juga lamban.

Saat ini, ia berharap agar penelepon itu bukan Daffa. Takut dengan respon yang diutarakan Daffa nanti. Tak tahu wajahnya nanti akan ia taruh dimana. Semoga bukan Daffa, batinnya.

Dilihatnya penelepon yang tertera di layar ponselnya secara hati-hati. Matanya menatap secara ragu-ragu. Tak lama, kekesalan kembali melandanya ketika melihat penelepon itu. Daffa.

Kampret.

Laura berdehem kemudian jari jempolnya ia gunakan menekan tombol berwarna hijau. Dialihkannya ponselnya mendekat ke telinganya.

Double BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang