"What's wrong? What's wrong now?
Too many, too many problem"
Nobody's Home - Avril Lavigne
Tangan Daffa teralih mengambil jaket yang berada di kasurnya. Kedua tangannya digunakan untuk mengenakan jaket berwarna merah tersebut.Dipandangnya dirinya secara detail dalam cermin yang tak jauh dari kasurnya. Pantulan wajahnya yang sangat kacau, tak ada sama sekali kehidupan dalamnya. Matanya memerah menahan tangisannya agar tak keluar. Hidungnya kembang kempis berusaha meredam amarah yang masih menggelutinya.
Sebelah tangannya kemudian teralih mengambil beberapa plester luka yang berada dalam laci meja nakasnya. Plester luka tersebut ia rekatkan pada beberapa luka pada tangannya. Luka yang diakibatkan oleh pecahan beling yang ia lemparkan tadi.
Matanya kemudian teralih melirik jam yang sudah ia kenakan di tangan kirinya. Sudah jam sembilan, gumamnya.
Kedua kakinya kemudian ia seret menuju pintu kamarnya. Malam ini ia berniat untuk tidak ada dalam ruamh ini, ia sudah muak. Sudah muak akan kelakuan ayahnya. Dilangkahinya beberapa barang yang tergeletak dalam kamarnya.
Ia sudah muak akan segala tingkah laku ayahnya. Mungkin apa yang ada dalam benaknya kini memang sudah terlalu melampaui batas orang lain. Tujuannya kembali ke Jakarta sama sekali tidak ada gunanya.
Dengan langkah kaki yang cepat, kakinya ia seret menuju lantai bawah. Melewati beberapa lorong-lorong yang terdapat di lantai dua rumahnya.
Pikirannya kalut. Wajahnya masih terlihat kacau. Amarahnya masih terus bergejolak dalam dirinya.
Kakinya menuruni tangga demi tangga dengan langkah cepat. Tidak ingin juga benci melihat wajah ayahnya lagi.
"Mas Daffa makan dulu!" seru bibinya dengan sorot nada khawatir.
Tidak ada jawaban dari mulut Daffa. Perkataan bibinya sama sekali tak Daffa hiraukan. Ia tidak peduli dengan rasa lapar karena belum makan malam. Amarahnya lebih dominan daripada rasa laparnya.
Sebelah tangannya teralih menghentikan taksi yang lewat di jalanan depan rumahnya kemudian masuk dalam taksi tersebut. "Jalan, Pak!"
Supir taksi tersebut mengerutkan dahinya, bingung. "Mau kemana, Mas?" tanyanya.
Daffa menggeleng pelan, "Kemana aja asalkan jangan disini," tuturnya kemudian mulutnya kembali diam.
Supir taksi itu masih terlihat bingung, namun berusaha menggangguk.
Daffa menyandarkan tubuhnya pada jok taksi sembari memejamkan kedua matanya. Ia sangat lelah, lelah memikirkan segala masalah yang menimpanya kini. Tak ada hal yang beres kini. Dunia tak berpihak kepadanya.
Benaknya kembali mengingat setiap kenangan demi kenangan pedih yang telah dilaluinya sehingga membuat hatinya yang terasa perih menjadi semakin perih. Bayang-bayang secara tak begitu detail tercetak kembali dalam benaknya bagaikan untaian-untaian kata, yang sama sekali tak ada sorot keindahan dalam kata demi kata tersebut.
Suara kendaraan yang melaju dalam jalanan kota Jakarta memenuhi pendengarannya. Cahaya remang-remang oleh lampu jalanan sedikit menyilaukan matanya. Perlahan, matanya yang terpejam ia buka. Memandang kendaraan yang melaju dengan kecepatan normal, walaupun ada beberapa pengedara motor yang melajukan motornya di atas kecepatan normal dikarenakan keberadaan polisi yang sudah minim di atas jam sembilan malam.
Ia menelan air ludahnya secara perlahan. Kini taksi yang ditumpanginya tak lama lagi akan melewati lampu lalu lintas yang tak lama lagi akan berubah warna menjadi hijau. Kendaraan masih ramai, sama sekali tak memberikan jalanan bagi para penyebrang jalan yang memang sudah sangat sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Broken
Novela JuvenilAku menyukai dia yang terluka. Dirinya bagaikan kaktus yang berduri dan aku bagaikan balon. Balon dan kaktus tidak dapat bersatu, sedangkan aku dan dia.. Mungkin.... Amazing cover by @katrinapradnya 9 Mei 2017