"Cinta memang banyak bentuknya
Mungkin semua tak bisa bersatu"
Sepatu - Tulus
Sudah dua hari semenjak Daffa menyatakan ingin berjauhan dengan Laura. Laura kira Daffa hanya bercanda, namun ternyata itu tidak benar. Daffa benar-benar menjauh darinya seakan mereka tak pernah mengenal satu sama lain.Dan ya, berbagai perbedaan juga perubahan dirasakan Laura dalam dua hari berturut-turut tersebut. Hatinya terasa sangat sepi, hampa tanpa adanya udara. Dirasakannya perih juga di hatinya ketika Daffa hanya menatapnya dengan tatapan datar, tatapan seakan mereka tidak mengenal satu sama lain. Namun, mengapa? Mengapa Daffa menjauhinya tanpa satupun alasan yang bisa dipegangnya?
Mata Laura menangkap Daffa yang kini tengah berjalan di koridor sendiri. Wajahnya sama seperti biasanya, ceria seakan tak ada masalah yang menimpanya. Wajahnya memancarkan kebahagiaan, namun Laura tahu Daffa terluka. Memang Daffa sangat pandai berakting layaknya sesuatu sama sekali tidak terjadi. Layaknya masalah sama sekali tidak menimpanya.
Dengan sigap, langkah kaki Laura ia arahkan secara cepat menuju Daffa. Ia mengambil langkah kaki secara besar juga secepat kemampuannya, menghampiri Daffa yang kini berjalan di koridor. Matanya sama sekali tidak ia malingkan dari pandangannya terhadap Daffa.
Ia menarik tangan Daffa secara spontan lebih dekat dengannya. Kedua alisnya tertaut, membutuhkan penjelasan, "Pleasee, aku gak tahan. Berhenti jauhin aku," ujar Laura dengan nada memohon.
Daffa menghela napasnya secara perlahan. Tenggorokannya tercekat. Mulutnya ingin mengeluarkan suara, namun tak tahu apa yang harus dikatakannya. Hatinya tak tega, namun pesan ayahnya lebih penting. Sebelah tangannya yang kosong digunakannya melepaskan genggaman tangan Laura. Matanya melirik Laura sejenak kemudian berlalu meninggalkan Laura.
Bening-bening air di mata Laura tak tahan lagi untuk mengeluarkan seluruhnya. Hatinya perih. Kakinya dengan cepat ia langkahkan, menghalangi Daffa untuk melanjutkan perjalanannya. Ia menelan air ludahnya.
Ditatapnya Daffa dengan mata berkaca-kaca, "Kalau kamu mau jauhin aku, setidaknya kasih aku alasan yang jelas." Suaranya serak, tak sanggup lagi mengeluarkan suara, namun ia usahakan. Matanya masih siap sedia menopang air dari dalam matanya yang bersiap untuk keluar.
Daffa terdiam sejenak. Kedua tangannya diulurkannya memegang kedua bahu Laura. Matanya menatap Laura dengan tatapan sayu. "Tolong lupakan aku, jauhi aku. Masih banyak cowok di dunia ini yang pantas buat kamu. Masih banyak cowok yang perhatian dan peduli sama kamu, daripada aku," tuturnya dengan nada suara yang serius.
Daffa menelan air ludahnya, "Jadi, tolong lupakan aku. Jalani hidup kamu kek dulu waktu kita belum pernah kenal. Hidupku adalah hidupku dan hidupmu adalah hidupmu, gak ada kata kita di dalamnya." Setelah mengucapkan itu, ia diam tak dapat lagi mengatakan apapun. Ia memang jahat, namun apalagi yang bisa dilakukannya selain hal tersebut. Ia juga tak ingin sama seperti Laura. Tetapi bagaimana?
Laura menyeka air matanya yang sudah keluar dari tempatnya dengan jari telunjuknya. Ia tersenyum getir. Matanya menatap punggung Daffa yang perlahan demi perlahan mengecil lalu kemudian menghilang. Hatinya seakan hancur berkeping-keping. Air matanya sudah berada di penghujung matanya, namun berusaha ditahannya agar tak keluar.
Kakinya dengan cepat diarahkannya menuju toilet dan mengeluarkan segala air matanya yang tak dapat dibendungnya untuk waktu yang lama. Sambil sesenggukan, ia terus menangis.
------
"Lo yakin gapapa?" tanya Shania memastikan.
Kini Laura juga kedua sahabatnya sedang berjalan beriringan menuju pintu keluar kantin. Bel tanda jam istirahat sudah berbunyi sedari tadi.
![](https://img.wattpad.com/cover/103368266-288-k460667.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Broken
Teen FictionAku menyukai dia yang terluka. Dirinya bagaikan kaktus yang berduri dan aku bagaikan balon. Balon dan kaktus tidak dapat bersatu, sedangkan aku dan dia.. Mungkin.... Amazing cover by @katrinapradnya 9 Mei 2017