Fyuh, hari ini cuaca sungguh berangin. Kurapikan kembali bagian bawah kerudungku yang melambai - lambai dengan indah mengikuti arah angin bertiup.
Setelah berpamitan dengan seluruh ustadz dan ustadzah 15 menit lalu, kulangkahkan kakiku perlahan menuju gerbang Pondok Pesantren Darussalam.
"Ros, sudah hubungi orang tuamu?" Tanya kak Sarah yang sedang duduk bersandar di dinding Ponpes.
Ya. Ini adalah liburan akhir tahun. Waktunya para santri pulang ke rumah masing - masing untuk melepas rindu yang sudah tak tertahankan.
"Sudah kak. Mungkin sebentar lagi mereka datang," jawabku menghampiri kak Sarah.
Kak Sarah mengangguk dan tersenyum simpul. Ya, walaupun kak Sarah menggunakan cadar, namun aku tahu karena matanya akan selalu menyipit saat dia tersenyum.
Lalu, lewatlah Arka, santri yang sepertinya akan bersiap pulang juga.
"Assalamualaikum ukhti," ujar Arka sopan seraya menundukkan pandangannya.
Memang sudah seharusnya ikhwan dan akhwat yang bukan mahram menjauhkan diri dan menjaga pandangannya, karena pintu - pintu dari zina besar berawal dari hal yang sepele menurut generasi muda saat ini.
"Waalaikumussalam akhi," jawabku dan kak Sarah bersamaan. Arka mengangguk dan tersenyum kecil sebelum melangkahkan kakinya keluar dari gerbang Ponpes.
Alfiandra Arkan. Santri seusiaku, dengan kecerdasan yang tak bisa kuragukan lagi. Dia sudah hafal keseluruhan ayat Al - Qur'an di umurnya yang ke - 17 tahun ini. Masya Allah, dan sejujurnya aku pun menyimpan hati padanya sejak awal aku menginjakkan kaki di Pondok Pesantren Darussalam 3 tahun lalu. Namun, kepahamanku akan menjaga fikiran, hati, dan mata dari zina membuatku mencoba menjaga semua itu dengan tidak memikirkannya terus - menerus.
Napasku tercekat, jantungku berdebar tak karuan sembari terus mengalihkan pandanganku darinya, lalu menatap punggungnya yang berlalu dan semakin menjauh.
"Aku sudah tahu perasaanmu pada Arka, Ros. Kamu cukup pintar menutupinya, namun aku lebih pintar mengetahuinya," ujar kak Sarah sembari terkekeh pelan.
"Loh kak? Bagaimana bisa?" Tanyaku kaget, melongo tak percaya menatap kak Sarah yang masih terus tersenyum padaku.
Perasaan yang kupendam selama 3 tahun lebih, yang kufikir tidak seorangpun mengetahuinya, namun kak Sarah, orang yang tidak terlalu dekat denganku, justru mengetahui rahasia terbesarku. Rahasia hatiku.
"Hehehe. Kelihatan sekali wajahmu selalu kelihatan merah padam setiap ada Arka. Ya sudah, tidak baik bicarain ikhwan terus. Nanti zina fikiran loh. Naudzubillah," jawab kak Sarah.
"Aku sudah dijemput tuh Ros. Duluan ya, selamat liburan. Jangan mikirin Arka terus hehehe. Assalamualaikum."
"E..Eh Waalaikumussalam kak," jawabku.
Kak Sarah berlari sembari melambaikan tangannya padaku. Aku masih melongo tak percaya. Bagaimana bisa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...