Arka PoV
Kusingkap sorban yang terkait sempurna di leherku.
Menyeka keringat yang mengucur deras sejak aku menginjakkan kaki di tanah air tercinta ini.
Jakarta, Indonesia.
Ah, Jakarta. Masih sama seperti dulu. Terik matahari yang membakar, serta kesibukan manusia yang berlalu lalang, tak peduli dengan tingkat sosialisasi mereka yang semakin berkurang.
Sibuk mengejar tujuan utama mereka. Harta. Yang sesungguhnya, jika mereka pintar menelaah, itu bukanlah kebahagiaan yang sesungguhnya.
Apakah ketika anakmu merengek meminta waktumu untuk bermain dengannya sedangkan seluruh waktumu kamu abdikan untuk harta dapat disebut bahagia?
Ya, definisi tepatnya, harta adalah ketika kamu memilikimu maka kamu akan memiliki banyak teman, dan ketika kamu jatuh miskin satu per satu temanmu akan pergi meninggalkanmu sejauh - jauhnya. Seolah - olah kamu pernah membuat kesalahan yang amat sangat fatal.
Fisha : Maaf untuk pesanku yang ke sekian ribu ini sejak 5 tahun lalu. Walaupun aku tahu kamu tidak akan membalasnya, atau bahkan tidak pernah melihatnya. Butuh it's ok, I just wanna ask. How was your day?
Fisha : Sejak kepergianmu saat itu, kamu benar - benar menghilang seperti debu. Namun penantian ini yang membuatku sadar, bahwa rindu harus dilalui dengan sabar.
Fisha : Aku benci diriku. Aku benci perasaan ini. Aku benci kenyataan bahwa hatiku telah kamu bawa lari.
Fisha : Baikkah kamu disana? Nyamankah kamu disana? Adakah waktu untukmu beberapa detik saja untuk mengingatku?
Fisha : Kamu tahu, ada beberapa hal dalam hidupku yang sangat aku sesali. Yaitu, tidak memanfaatkan sisa waktu yang kupunya untuk terus bersamamu.
Fisha : Kapan pulang? Aku rindu.
Fisha : Tak lelahkah kamu berlari? Sudah, jangan berlari. Kamu berjalan saja aku tak sanggup mengejar.
Ku tatap layar ponselku dengan penuh penghayatan.
Ah, Fisha. Tetap rajin mengirimiku pesan setiap harinya, walaupun bertahun - tahun tidak aku respon.
Dan kamu salah, Fisha. Aku melihat semua pesanmu sejak 5 tahun lalu. Bahkan, aku rajin sekali membacanya sebelum tidur.
Aku merasa menjadi buku harianmu, yang akan kamu isi dengan curahan hatimu setiap harinya, karena bahkan kamu sendiri tidak yakin apa aku meresponnya atau tidak.
Kamu sama seperti dulu. Tetap lucu.
Dan aku pun sama seperti dulu.
Tetap mencintaimu.
Tahukah alasan mengapa aku menghilang dari hidupmu secara misterius dan bahkan tidak seorang pun mengetahui kabarku?
Aku takut, Fisha.
Aku takut, jika aku balas menghubungimu, rindu ini semakin menggebu - gebu dan aku akan terpaku, tak mampu mengejar semua cita - citaku.
Ini semua kulakukan untukmu, untuk kebaikan kita.
Aku tidak ingin masuk ke kehidupanmu tanpa kebanggaan, sebelum terwujudnya cita - cita dambaan.
Kuharap, kamu disana pun sama denganku. Memperbaiki dan mempersiapkan diri untuk tiba saatnya nanti.
Waktu yang tepat untuk mempersatukan kita, secepatnya.
—————————————————————
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...