Ros PoV.
"Ros? Sudah dimana?"
"Arka masih di taman, kalau kamu mau tahu."
"Rosa? Kamu baik - baik saja, bukan?"
"Apa ada masalah diperjalanan?"
8 missed call from Arka.
"Sudah sore, aku pulang saja ya?"
Berpuluh - puluh pesan dari Arka kuabaikan. Bahkan telepon darinya tak kuangkat, membiarkan ponselku terus bergetar dan berbunyi nyaring di atas meja.
Menggapainya pun percuma, hanya semakin memperbesar luka.
Aku tidak suka perasaan ini. Semakin aku mencintainya, maka semakin sakit pula rasanya.
Kupikir aku benar - benar bodoh, membiarkan hatiku tersakiti berkali - kali, seperti jatuh di lubang yang sama, berkali - kali pula.
Membuatku harus memilah - milah, apakah ini cobaan, atau memang takdir dari Allah agar aku dan Arka dijauhkan.
Opsi kedua pun rasanya tidak mustahil.
Membuatku semakin sadar pula, cara yang Arka lakukan, menemui akhwat untuk mengatakan sesuatu, tidaklah tepat.
Setidaknya, dia bisa mengatakan lewat perantara teman. Untuk menghindari fitnah. Bukankah seharusnya dia mengerti?
Hatiku memang sakit, tapi kuakui, ini bukan salahnya. Dia tidak bermaksud melakukan ini.
Ini salahku.
Salahku, melupakan bahwa takdir Allah lah penentu segalanya.
Aku tahu, bahwa Fisha menyukainya, Fisha sahabatku sejak kecil, yang selalu merelakan mainan - mainannya saat aku menangis dulu.
Tapi apa yang kulakukan?
Aku egois. Sangat. Bahkan, merelakan Arka untuk sahabat karibku saja aku tak bisa.
Aku benar - benar harus mengambil seribu langkah menjauh kali ini.
Brak!
Tiba - tiba suara pintu terbuka dengan kencang mengejutkanku.
"Kakak, minta cokelatnya!" Seru Rafi, dia berlari - lari kecil menghampiriku dan mengadahkan tangannya.
"Cokelat apa? Kakak gak punya," jawabku pura - pura tidak tahu.
Barusan ummi membawa 3 bungkus besar cokelat oleh - oleh dari temannya yang baru saja pulang umrah.
"Bagikan untuk adik - adikmu ya Ros. Kalau Ummi tahu kamu habiskan sendiri, kamu hutang surat Al - Ambiya sama Ummi nanti malam," masih teringat di benakku kata - kata ummi tadi siang.
Aku bergidik ngeri karenanya. Memang, aku baru hafal separuh dari surat Al - Ambiya, dan perkataan Ummi, tidak pernah main - main sejak dulu.
Beliau pernah memberikan hukuman padaku untuk menghafal surat Al - Baqarah ayat 1 - 15 dalam satu hari saat aku masih duduk di bangku SMPIT dulu. Beliau tidak memberikanku kesempatan tidur sebelum menghafalnya. Alhasil, inilah aku sekarang. Hafidzah dari didikan ummiku tersayang.
"Ummi bilang kakak punya cokelat buat kita! Mana kak mana?" Ucap Rafa menyusul kemudian.
"Iya kak mana?"
"Mana? Mana kak? Mana?"
"Minta kak dimana?"
Si kembar terus saja rewel sembari menarik - narik tanganku.
"Stop! Sudah - sudah, ini cokelatnya. Habis makan langsung sikat gigi ya, nanti gigimu habis loh, dimakan ulat hihihi," ucapku menakuti si kembar. Kusodorkan dua bungkus besar cokelat pada mereka, tak lupa kutarik hidungnya gemas.
Rafa dan Rafi pun berlari, pergi dari kamarku tanpa ucapan terima kasih atau apapun.
"Hey kalian, awas ya! Kakak aduin ummi lho, masa gak bilang makasih," teriakku dari dalam kamar.
Ada - ada saja kelakuan adik - adikku itu. Membuatku makin berat meninggalkan rumah ini dengan tingkahnya yang menggemaskan.
—————————————————————
"Rafa, Rafi, ngaji yang benar ya nak. Gak boleh nakal, gak boleh makan permen banyak - banyak, gak boleh pipis atau BAB sembarangan, kalau kebelet bilang kak Ros, oke?" Ucap ummi panjang kali lebar pada si kembar. Mencium pipi mereka bergantian setelah disalimi tangannya.
"Kakak, gak boleh jahat sama adik - adiknya. Kalau nyebrang dituntun, jangan dibiarin lari sendiri. Ya kak?" Lanjut ummi kemudian.
"Iya ummiku sayaaang. Siap 86!" Jawabku sembari mengangkat tangan posisi hormat.
Jadilah aku disini. Mengantar sekaligus menunggu si kembar mengaji di TPA As - Syams.
Menunggu di bangku depan TPA sembari mengutak - atik ponselku asal. Membosankan.
Melihat pemandangan anak - anak dengan permen ditangannya, sebagian diantaranya naik perosotan, ayunan, jungkat - jungkit, dan lain - lain. Asik dengan dunia bermainnya.
Brug!
"Astagfirullah," teriakku.
Seorang gadis kecil jatuh dari ayunannya, menangis histeris dengan lututnya yang berdarah.
Kemana orang tuanya gerangan?
Tanpa ba bi bu lagi, kuhampiri anak itu dengan gesit.
"Adik gak apa - apa? Orang tuanya kemana? Sini kakak cariin orang tua kamu aja ya," ucapku pada gadis malang itu. Kuangkat tubuh mungilnya.
Celana bagian lututnya sobek, telapak tangannya berdarah, permennya patah jatuh ke tanah.
"Aku diantar sama kakakku, kak. Itu kakakku," jawab gadis itu masih dengan tangis yang sesenggukan.
"Amel 'kan sudah kakak bilang hati - hati kalau main," ucap sebuah suara familiar di belakangku. Aku tidak berani menoleh. Sungguh.
"Loh, Ros?" Lanjutnya kemudian.
—————————————————————
Hai hai karena aku gak ada kerjaan jadi aku update lagi. Menurut kalian Amel adiknya siapa hayoo? Awas aja kalo kalian jawab adiknya Arka😂 tapi gak tau juga deh😂
Jangan lupa. Bismillah for everything:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...