Air Mata (Lagi)

1.6K 97 0
                                    

Kuedarkan pandangan ke seluruh selasar kantin, mencari sosok Althaf yang kabarnya sedang asik dengan Bunga, adik kelas barunya itu.

Dan benar saja, mereka sedang duduk berdua di kursi terpojok kantin.

Kuberi tahu sekali lagi, TER - PO - JOK.

Maksudnya Althaf apa, sih? Mau buat aku panas, gitu? Gak elit banget kalau begitu caranya.

Sayup - sayup kudengar kekehan merdu dari Bunga, "Hari Sabtu jadi, ya kak!"

Oh tidak! Ini namanya pengkhianatan, Althaf tidak boleh berselingkuh di belakangku!

Eh? Berselingkuh, ya?

Memang aku dan Althaf punya hubungan apa?

Tapi melihat kedekatan mereka berdua, aku harus kembali bertanya.

Maksud dari pernyataan cintanya dulu itu apa?

Kuhampiri mereka berdua, duduk di sebelah Althaf dengan manis, "Asik banget, sih, kelihatannya. Join, ya?" Ucapku berpura - pura manis di depan Bunga.

Jika ia lebih teliti, ia akan melihat kakiku yang menginjak kaki Althaf di bawah meja sampai meringis kesakitan.

"Boleh, kok, kak. Gabung aja," jawab Bunga tersenyum tipis.

Sedangkan Althaf mendelik tajam ke arahku dan langsung dibalas dengan tendangan di tempurung lututnya, membuat ia makin menggeram tertahan.

"Denger - denger hari Sabtu mau ketemuan, ya? Dimana?" Tanyaku sok ramah.

Bunga menggaruk tengkuknya yang tertutup jilbab, "Ehm... Em, anu..."

"Kita mau belajar bareng," sahut Althaf bangga.

Dan itu membuatku menginjak telapak kakinya begitu keras hingga ia menjerit, "Nyaw!"

Lupa wajah cemas, "Kamu kenapa, Ta?" Lalu menyeringai setan ketika Bunga menoleh sejenak.

Bunga ikut - ikutan khawatir, "Kak Althaf kenapa?"

"Gak apa - apa, kok. Digigit semut tadi," jawab Althaf kikuk.

"Jadi, hari Sabtu kalian mau belajar dimana? Aku boleh ikut?" Tanyaku, lagi - lagi sok antusias.

Bunga hanya tersenyum canggung, seolah tak rela kalau aku bergabung dengan mereka. Althaf pun begitu.

"Ah... Gak boleh, ya? Yasudah kalau begitu, aku sadar kok—"

"Dirumahnya aku kak, pagi jam sembilan. Join aja," potong Bunga, tersenyum tipis. Mungkin merasa tak enak dengan kakak kelas galak sepertiku.

"Wah, makasih banyak, ya!" Jawabku tersenyum manis, bangkit dari dudukku.

Dan untuk sentuhan terakhir, kuberikan tendangan ekstra di tulang kering Althaf hingga berbunyi cukup keras, bug!

"Aaak!"

Lalu aku melenggang pergi dengan kekehan iblis di setiap langkahnya.

----------

Sekarang, aku mengerti bagaimana rasanya cemburu pada orang yang aku cintai.

Aku merasakan hal yang Althaf rasakan ketika aku bersama Ayyash.

Seperti yang kulihat seharian kemarin, Althaf dan Bunga benar - benar dekat dan tak terpisahkan. Bagaikan semut dan gula.

Berjalan berdampingan, tertawa bersama, bahkan sesekali curi - curi pandang.

Tapi tenang saja, aku akan datang secepat kilat untuk mengacaukannya. Yah, aku memang cukup handal untuk merusak situasi romantis ala remaja!

"Jadi, rumus valensi untuk golongan satu A itu bla bla bla," Althaf dengan cekatan menerangkan materi kimia dasar pada Bunga, tangannya tak berhenti membolak - balik buku kimia dasar kelas sepuluh milik cewek bedebah itu.

Sedangkan si curut hanya manggut - manggut sok mengerti, padahal kuyakini ia lebih fokus pada sang pengajar ganteng ketimbang materi yang diajarkannya.

Ya, sesuai janjiku kemarin, aku datang untuk mengacaukan acara belajar romantis mereka berdua.

Walaupun harus jatuh bangun mencari alamat si kutu Bunga ini, karena Althaf tak ingin ku ajak berangkat bersama. Menyebalkan, bukan?

Belum lagi, aku harus memastikan bangunan ini benar - benar kediaman Bunga asli, karena saking tak percayanya bahwa ini merupakan rumah yang dimaksud.

Percayalah, bangunan ini tak cocok disebut rumah dengan penghuninya yang empat orang saja, Bunga, kedua orang tuanya, dan kakak laki - lakinya. Ini sih, pantasnya disebut istana.

Kukipas - kipas leherku dengan telapak tangan, "Duh, hari ini panas banget, ya!"

Aku tak bohong, hari ini tubuhku panas dingin saking kuatnya melihat dua remaja di depanku ini!

"Kak Asma haus, ya? Duh sampe lupa, aku ambil minumnya dulu ya," ujar Bunga canggung, melenggang pergi menuju dapur dengan sangat sopan.

Aku tertawa puas, sedangkan Althaf mengernyitkan dahinya, menatapku tajam.

"Apa maksudmu?" Tanyanya dingin.

"Maksudku? Apa?" Beoku sok polos.

"Ada dimana pun, mengacaukan apapun. Apa maumu?"

Mulutku bungkam mendengar kata - kata pedasnya.

"Aku tak habis pikir dengan jalan pikiranmu, mulai sekarang berhentilah menggangguku, aku tak sudi untuk kamu usik lagi," lanjutnya, menohok hatiku tanpa ampun.

Lalu ia bangkit dari duduknya, melangkah makin jauh, dan...

BRAK!

Pintu tertutup dengan sangat keras, tepat di depan wajahku.

Napasku tercekat, aku termenung di tempat.

Perlakuan dinginnya ini... Tak asing lagi bagiku.

Pintu kembali terbuka, menampilkan seorang gadis tengah sibuk dengan nampan berisi tiga gelas jus jeruknya, "Ini kak, minumannya. Lho, kok kak Asma cuma sendiri? Kak Althaf lagi ke toilet?"

"Aku pamit pulang, ya, Bung. Ada urusan," tukasku cepat, bergegas meninggalkan ruang belajar itu.

Berhentilah menggangguku, aku tak sudi untuk kamu usik lagi.

Kata - kata busuk itu terus - terusan meracuni otakku. Membuatku tak kuasa menahan air mata terkutuk yang sudah lama tak meluncur keluar ini.

Kuhapus air mataku kasar, berjalan sempoyongan menuju gerbang yang masih jauh di depan.

Baru saja aku menapaki ruang tamu, sampai ketika...

Bruk!

Tubuhku menghantam dada seorang lelaki yang terbungkus jaket kulit berwarna cokelat. Hampir saja aku terjatuh, namun sepertinya orang ini menahan punggungku dengan tangan besarnya.

Posisi ini...

"Asma? Kamu kenapa menangis?" Suara berat itu menginterupsi pikiranku yang masih melayang - layang di surga sana.

Tiba - tiba memori di otakku teringat akan pemilik suara yang kudengar sekarang, aroma tubuhnya pun begitu familiar bagiku.

Kudongakkan kepalaku ke atas, dengan begitu aku mampu melihat wajah lelaki ini secara langsung.

Wajah manis itu... Rambut lurusnya yang dibiarkan acak - acakan itu...

Ayyash.

Sedang apa dia disini? Apa hubungannya dengan Bunga? Apa dia gebetan si iblis Bunga juga? Seperti Althaf?

Ah, peduli setan. Urusan asmaraku saja belum benar.

Kusingkirkan tangannya yang masih bertengger di bahuku, berlari kecil menjauhi neraka terkutuk yang sialan itu.

Astaghfirullah, berapa kali aku mengumpat hari ini?

Althaf... Sampai kapan kamu harus menyakitiku seperti ini?

Baiklah, sesuai permintaanmu, aku akan berhenti mengganggumu. Kupastikan kamu tak akan pernah lagi melihat gadis pengusik kehidupanmu seperti biasanya. Aku berjanji.

Haruskah hari - hari berikutnya kulalui dengan air mata (lagi)?

Asma untuk AlthafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang