Asma PoV
Bohong jika aku berkata bahwa aku baik - baik saja.
Senyuman yang selalu kuukir akhir - akhir ini... Semuanya palsu.
Tetap saja ada yang mengganjal di hatiku tiap kali melihat penampilan Althaf yang kian hari kian kacau.
Dia masih saja belum menyerah memperjuangkan pengampunanku, setiap harinya.
Puncaknya adalah ketika ia berdiri di depan balkon kamarku, kala itu hujan sangat deras. Ia berteriak meminta maaf seperti orang gila di depan sana, ala film - film remaja.
Setelah lima jam kubiarkan, ia pingsan. Tubuhnya menggigil, bibirnya membiru, dan berakhir tidak masuk sekolah selama tiga hari karena demam tinggi.
Dan jangan kira aku tak tahu masalah pertengkaran dirinya dengan Bunga, aku tahu persis jalan ceritanya dan aku melihat sendiri bagaimana Althaf menyakiti gadis itu dengan kata - kata tajamnya.
Kejadian itu berlangsung ketika bel pulang sekolah sudah berbunyi lama, aku yang baru saja dari perpustakaan disuguhkan pemandangan dua orang yang sedang beradu mulut hebat, tepatnya di koridor sekolah. Jadi aku memutuskan untuk bersembunyi dan mengintip pertengkaran itu tak jauh dari sana.
Di situ Althaf menyatakan... Bahwa sampai kapan pun hatinya hanya untukku.
Dari semua perjuangannya untukku, tentu saja aku luluh. Namun, aku belum menemukan saat yang tepat untuk berkata bahwa aku sudah memaafkannya.
Dhini menghampiriku dam menyodorkan surat yang entah sudah ke berapa banyaknya, "surat lagi, dari Althaf," kekehnya pelan.
Aku merengut kesal, "jangan ketawain aku begitu, ah, Dhin."
Dhini menyentil kepalaku yang membuatku mengaduh kesakitan, "bodoh, kalian ini saling mencintai. Kenapa masalah sepele begini saja harus dibuat rumit?" ujarnya.
"Kamu kayak ngerti cinta aja, sih, Dhin," ledekku.
"Kalian berdua itu orang jenius dan terpelajar, mengapa bisa terlihat bodoh hanya karena kecerobohan kata - kata?" balas Dhini, kali ini menjitak kepalaku agak keras.
"Udah, Dhin, sakit!" raungku tak terima.
"Supaya kamu kembali jadi Asma jenius yang dulu," jawab Dhini terakhir, menyentil kepalaku tiga kali.
Aku hanya mengelus kepalaku yang menjadi korban kegatalan tangan Dhini. Huh, sahabatku yang satu itu kadang berjiwa psikopat.
Kubuka surat pemberian Althaf tadi.
Teruntuk,
Asmara Adiba yang kucinta,
Mungkin ini akan menjadi surat terakhir dariku, karena kulihat kamu menjadi agak risih dengan surat pemberianku setiap hari.
Mengapa aku memilih surat sebagai media penyampaian? Aku bukan pengecut, aku hanya kehabisan cara untuk membuatmu luluh, sungguh.
Kupikir, dengan surat, kamu bisa lebih meresapi dan mencerna kata - kata yang kusampaikan dengan baik, dan dengan itu kamu bisa membuka pintu maaf di hatimu sesegera mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...