Brak!
Asma menggebrak meja yang sedang Althaf tempati dengan keras, sehingga mengundang tatapan heran dari si pemakai meja.
"Puas 'kan kamu, berkali - kali menjatuhkan dan merendahkanku!" Cerca Asma dengan sorotan kebencian penuh amarah.
"Bicara apa, sih, kamu, Ra?" Tanya Althaf dengan kalemnya, memasang wajah polos tanpa dosa.
Kamu itu selalu saja mengikuti ku sejak taman kanak - kanak! Aku tak masalah jika hanya diikuti, namun parahnya, kamu juga selalu menyaingiku, merebut posisi peringkat pertamaku!" Tuduh Asma dengan lantang, menatap netra kelabu Althaf nyalang.
"Astagfirullah, suudzon kamu, Ra. Aku gak pernah ada maksud buat mengikuti kamu dan merebut peringkat kamu. Lagipula apa pentingnya peringkat jika nilai kita terlampau nyaris tak berbeda?" Balas Althaf masih dalam keadaan tenang, berusaha menyurutkan emosi gadis yang ada di depannya sekarang.
"A... A... Aku benci kamu, Ta!" Ucap Asma terbata, merasa tersudut oleh pernyataan yang baru saja terlontar dari mulut sang lawan bicara.
Lalu ia menghapus air di sudut matanya dan berlari menjauh dengan tergesa - gesa.
Namun tiba - tiba...
Bruk!
"Aduh, Ummi...," Asma mengaduh pelan ketika merasakan perih di lututnya akibat terjatuh tak jauh dari tempat Althaf berdiri.
Tiba - tiba muncul uluran tangan dari atas, "kamu gak apa - apa?" Tanya sebuah suara.
Asma mendongak ke atas, lalu mendapati wajah tampan Althaf menatapnya sendu.
Entah mengapa, Asma merasa de javu dengan keadaan ini.
Rasanya benar - benar seperti terlempar ke masa lalu.
Namun, Asma menepis tangan Althaf dengan kasar.
"Aku bisa bangun sendiri," imbuhnya, lalu menyelonong kembali ke kelas.
Althaf hanya geleng - geleng kepala dan tersenyum tipis.
"Masih Asmara ku yang dulu."
---------------
"Kenapa dia masih baik pas kumarahi, sih? Aku 'kan jadi gak tega lihat wajahnya!" Ujar Asma sembari menutup wajahnya dengan boneka beruang.
"Aku lebih suka kalau dia balas jahatin aku juga," lanjutnya pelan.
Marah, galau, bimbang tak menentu, itulah yang Asma rasakan sekarang.
Di satu sisi, Althaf sangat baik padanya saat ia marahi sekalipun.
Namun di sisi lain, dia sangat membenci Althaf karena selalu merebut posisinya sejak dulu.
Drrrt.
Ponsel Asma bergetar, menampilkan sebuah pesan pada layar.
Althaf : Ayo belajar bersama, Ra! Ummi kita menyuruhnya.
Belajar bersama musuh, eh?
Yang benar saja, Asma bahkan tak tahu caranya menaruh muka setelah kejadian memalukan tadi.
Disuruh Ummi? Itu hanya alibi! Bilang saja kalau Althaf ingin mempermalukannya lagi nanti.
Namun entah di bawah alam sadarnya atau tidak...
Asma : Ya. Kamu ke rumahku pukul 3 sore nanti, ya!
Althaf : Siap 86!
Setelah sepersekian detik, Asma membelalakkan matanya kaget, tak mengerti dengan ibu jarinya yang tidak sinkron dengan perasaan dan hatinya.
Dan itu sukses membuatnya terus merutukki kebodohannya sendiri.
-------------
Tuk.
Tuk.
Tuk.
Asma hanya mengetuk - ngetukkan pulpennya malas.
Menatap raut wajah Althaf yang sedang konsentrasi dengan soal - soal fisikanya.
Ya, disinilah mereka. Ruang belajar khusus keluarga Asma.
"Inikah namanya belajar bersama? Sama saja kamu belajar sendiri di rumah. Pulang saja kamu sana!" Tukas Asma sekenanya.
"Materi apa yang tidak kita mengerti lagi, Ra? Bahkan guru - guru menyuruh kita untuk akselerasi hingga ke universitas," balas Althaf tak kalah frustasi.
Mereka tak habis pikir dengan kedua ibundanya, bingung dengan apa lagi yang harus mereka pelajari.
"Mengapa kamu bertanya balik, bodoh? Cepat pulang sana!" Cerca Asma tanpa dosa.
Althaf menatap sosok di depannya nyalang, nyaris hilang kesabaran.
"Baiklah, aku pulang. Jangan mengamuk seperti itu, kamu makin cantik saja," ucap Althaf sembari menoel dagu Asma dengan jari telunjuknya.
Lalu segera kabur sebelum ada barang yang melayang ke arahnya.
Pletak!
Benar saja, sebuah pulpen melesat sempurna ke arah punggungnya.
"Dasar gila! Pergi kamu sana!" Amuk Asma makin menjadi - jadi.
Disusul tertutupnya pintu dan kekehan Althaf setelahnya.
"Ummi, Althaf pamit dulu ya. Terima kasih banyak," ucap Althaf sembari mencium tangan Fisha, ibunda Asma, penuh khidmat.
"Eh iya. Salam buat ibumu ya, nak," balas Fisha menyalami.
"Siap Ummi, assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam."
--------------
"Sudah pulang, Ta? Kok tumben cepat sekali belajarnya?" Sambut Yusuf, ayahanda Althaf, yang sedang duduk di teras rumah sembari membaca koran mingguannya.
"Biasa deh, Bi. Asma mengamuk lagi," jawab Althaf sembari terkekeh pelan.
"Oh, sudah biasa 'kan Asma dari dulu. Pemarahnya cuma sama kamu," timpal Umminya sembari tertawa, baru saja keluar dari dapur sembari membawakan tiga cangkir teh hangat.
"Sudah khatam aku dengan sikapnya. Apa Vani belum pulang juga?" Tanya Althaf kemudian, memastikan keberadaan adik perempuannya, Devani Azzahra.
"Tadi sudah Ummi telepon rumah nenek, Vani bilang gak mau pulang, malah mau menginap disana," ucap Umminya resah.
"Nanti habis Maghrib biar diantar pulang sama om Rafa," tukas Abunya menenangkan.
Setelah perbincangan panjang tersebut, Althaf langsung menuju kamarnya dan beristirahat sejenak.
Tiba - tiba Althaf memiliki sebuah ide untuk mengirimi Asma pesan, kalau - kalau Asma masih marah dengan candaannya tadi.
Althaf : Jangan marah lagi soal tadi ya, Ra. Tapi aku jujur kok, kamu memang beneran cantik.
Message sent.
1 menit...
2 menit...
Tring!
Asma : Maaf, aku bukan tipe gadis seperti di sinetron, yang akan luluh hanya dengan biakan cantik saja.
Bahkan Asma pun tetap angkuh walau hanya di pesan teks.
Althaf : Tapi aku tidak membual, Ra. Kamu beneran cantik.
Asma : Simpan semua omong kosong mu itu, aku tidak butuh.
Dan itu sukses membual Althaf senyum - senyum sendiri seperti orang gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...