Pemilik Cinta yang Terlupakan

1.7K 111 0
                                    

"Ini, meja nomor tujuh! Cepatlah!" Perintah Adhit, salah satu pegawai yang juga seusia denganku.

Malam ini pengunjung membludak padat, bahkan kami sampai menambahkan meja tambahan di beberapa sisi ruangan.

Dan ya, inilah rutinitas harian ku. Bisa dibilang aku sedang dalam masa - masa rajin bekerja, berhubung sebentar lagi liburan. Aku harus kejar setoran untuk menambahkan nominal rekening tabunganku.

Sebutlah aku di gila kerja, karena memang begini kenyataannya.

Dengan cepat kuletakkan hidangan tersebut diatas kedua telapak tanganku dan berjalan cepat menghampiri meja yang dimaksud.

Dari kejauhan, kulihat pelanggan di meja nomor tujuh sepertinya kumpulan pria berjas dengan kolega bisnisnya.

Ketika jarakku kian mendekat, sepertinya ada sosok familiar di sana.

Salah satu pria dewasa yang begitu mirip dengan... Abi?

Kutepis pikiran negatif itu, Abiku adalah seorang dokter bedah. Bukan kumpulan orang - orang pebisnis seperti yang kulihat sekarang.

"Selamat malam tuan, ini pesanannya. Silahkan menikmati hidanga—"

"Althaf! Sedang apa kamu disini, nak?" Potong salah satu pria di antara mereka.

Suaranya sangat familiar!

Jangan - jangan...

Kusipitkan pandanganku, mencoba meneliti wajahnya dengan baik. Yah, berhubung ada sedikit minus di mataku. Dan...

Oh tidak!

"Subhanallah, itu anakku. Untuk apa... Argh! Ikut Abi, kita bicarakan di rumah!"

Dia... Abiku.

Lalu ia menyeret ku keluar, meninggalkan rekan - rekan kerjanya yang lain. Dan tentu saja mengundang banyak tatapan heran para pengunjung dari segala penjuru restoran.

Rahasia yang selalu kututup rapat selama dua tahun ini, pada akhirnya terbongkar sudah.

Kebohongan yang selalu kusembunyikan dari keluargaku, kini telah memunculkan jati dirinya di depan Abiku sendiri.

Dan aku benar - benar tak tahu bagaimana nasibku nanti.

------------

"Mengapa? Mengapa kamu melakukan pekerjaan itu? Jawab Abi!" Bentak Abi cukup keras, suaranya menggema di antara tangisan Ummi.

"Untuk mendapatkan uang, Abi, tentunya," jawabku, berusaha untuk tetap santai.

Abi mengacak rambutnya pelan, menghela napas panjang.

"Apa uang yang Abi berikan setiap hari tidak cukup untukmu?"

"Cukup. Bahkan lebih dari cukup."

"Lalu mengapa? Mengapa kamu melakukan hal yang tak sepantasnya dilakukan? Hah?"

"Sekarang aku yang balik bertanya pada Abi, lalu mengapa jika memang iya? Apa Abi dan Ummi malu memiliki anak seorang pegawai restoran? Bukankah itu pekerjaan yang halal?" Desisku balik bertanya.

"Berani - beraninya kamu?" Teriak Abi, bangkit dari duduknya lalu...

Plak!

Menampar pipi kiri ku dengan keras.

Kuusap bekas tamparan itu hina, menatap lurus netra kelabu pria di hadapanku.

"Lihat, bahkan Abiku sendiri melarang ku melakukan pekerjaan halal!" Ucapku lugas, mengukir senyuman kecewa padanya, untuk pertama kali.

Abi hendah menamparku lagi namun Ummi segera mencekalnya, belum lagi Vani yang menghalangi tubuhku berdekatan dengan Abi.

"Sudah, Abi! Kasihan kakak!" Jerit Vani, berusaha melindungi ku.

"Istighfar, Bi, istighfar...," Timpal Ummi yang terus menangis tersedu - sedu.

Kulihat Abi memejamkan matanya lalu melafalkan istighfar berkali - kali. Mencoba meredam emosi.

Dia, bukan lagi sosok Abi yang dulu selalu menanamkan nilai kebaikan pada jiwaku.

Dia bukan lagi sosok Abi dengan beribu kebijakannya yang memukau.

Dia... Bukan lagi Abi yang kukenal.

------------

Krieeett.

Pintu kamarku terbuka perlahan namun aku terus memejamkan mata dan berpura - pura masih tidur.

Siapa yang masuk tengah malam begini?

"Sudah tidur rupanya," ujar sebuah suara bariton yang kukenal persis siapa pemiliknya.

Kurasakan tangan besar mengelus rambutku, turun ke pipiku lalu seperti ada kompres dingin yang mengidap pipiku perlahan.

Rasanya nyaman sekali.

"Abi tidak pernah malu memiliki putra sepertimu, kamu tumbuh dengan nilai - nilai kebenaran dan Abi begitu bangga padamu, nak..."

"Abi hanya belum bisa menerima kenyataan, bahwa kamu telah tumbuh dewasa, dan akan segera meninggalkan Abi nantinya. Waktu terasa begitu cepat," lirihnya bertubi - tubi.

Aku tetap memejamkan mataku, mengatur napas seperti sedang terjaga dalam tidurku.

"Kamu tumbuh begitu cepat, nak. Abi hanya tidak mampu melepasmu begitu saja," ucap Abi pelan, menggenggam tanganku erat.

"Karena kamu... Tetaplah jagoan kecil di hati Abi," lanjutnya dengan suara yang bergetar.

Abi... Menangis.

Segala ucapannya menyisakan begitu banyak perih di hatiku.

Bagaimana bisa aku begitu berburuk sangka pada malaikat di depanku ini?

Abi, lelaki yang memberikan kasih sayangnya tanpa perhitungan, tanpa batas.

Lelaki yang membuatku selalu belajar banyak akan kebijakan dalam hidup.

Lalu, kurasakan kecupan lembut di puncak dahulu.

Ku beranikan untuk membuka mataku, lalu menghambur dalam pelukannya.

"Maafkan Althaf, Abi..."

Cinta dan kasih sayangnya tersembunyi di balik ketegasannya, ia tak ingin menunjukan sisi melankolis agar anaknya tidak tumbuh menjadi manusia yang cengeng.

Derita dan sakitnya tak pernah ia tunjukan kepada kita, ia selalu ingin menjadi teladan yang tegas dalam mendidik anak - anaknya.

Dialah Abi, pemilik cinta yang terlupakan.

Asma untuk AlthafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang