Ros PoV
Tak habis pikir dengan jalan pikiran putraku yang satu itu.
Minta dinikahkan secepatnya dengan Asma, yang benar saja?!
Bukan, aku bukan tak menyetujuinya. Ingat perjodohanku dua puluh tahun yang lalu? Aku sangatlah mendukung semua itu.
Ini hanya masalah waktu, mereka berdua masih terlalu muda untuk membangun rumah tangga. Usia mereka bahkan baru melampaui angka enam belas.
Ini masih terlalu berbahaya.
"Tabunganku juga cukup banyak untuk sekedar melunasi apartemen, mungkin bisa Ummi dan Abi jadikan bahan pertimbangan nantinya," ujar Althaf sembari menyodorkan buku rekeningnya yang sudah mencapai delapan digit.
Aku membelalakkan mataku kaget, "sudah berpikiran untuk tinggal satu atap? Subhanallah Althaf, apa saja yang kamu pikirkan selama ini, nak?" tanyaku frustasi.
"Gak mungkin pisah ranjang kalau sudah menikah, 'kan, Ummi?" cicit Althaf polos.
Ya ampun, wajahnya itu. Membuatku ingin segera meremuknya saja!
Mas Yusuf menepuk - nepukkan bahu Althaf pelan, "Abi bangga padamu, nak. Abi restui kalian berdua, tinggal tanya pendapat Ummimu saja," ujarnya kemudian.
Althaf menganggukkan kepalanya sembari menyeringai lebar.
Aku semakin membelalakkan mataku, "bicara apa, sih, Abi? Ya Allah ya Rabbi, mengapa sebegininya lelaki?" Racauku tak karuan.
"Karena aku lelaki, jadi aku pun tahu betapa tersiksanya Althaf menahan hasratnya selama bersama Asma. Bayangkan, sampai belasan tahun!" bisik mas Yusuf tepat di telingaku.
"Kamu tahu, putra kita memang tumbuh terlalu cepat," lanjutnya jahil.
Mataku melotot lagi, nyaris keluar, "ABIIIII!!!!!"
-----------
Fisha PoV
Ya Allah putriku, putri kecilku.
Apa yang ada di pikiran sucinya selama ini?
Di pagi yang cerah ini, di hari pertama pekan liburan tahun ini, dengan polosnya dia berkata, "Ummi, nikahkan aku dengan Althaf."
Dengan wajah tanpa dosa, tanpa beban, barang sepikul.
Aku senang karena usaha perjodohan anak - anak kami berhasil, tentu saja. Tapi tidak secepat ini yang kuinginkan.
Ini masih terlalu berbahaya.
Terbayang dalam pikiranku, Asma di usianya yang ke delapan belas sedang menuntun anaknya belajar jalan, dengan perutnya yang buncit, hamil anak kedua dari benih Althaf.
Lalu akan ada yang memanggilku dengan sebutan 'nenek' di usiaku yang belum mencapai kepala lima.
Mimpi yang indah atau burukkah?
Suara Asma membuyarkan lamunanku, "Ummi, Abi, Althaf itu tampan, jenius, berbakat, pekerja keras, dan tentu saja sholeh seperti apa yang kita lihat selama ini. Lantas apa lagi yang perlu Ummi ragukan darinya?"
Aku menggeleng kepalaku cepat, "tidak, tidak bisa! Kalian masih harus sekolah. Siapa yang bisa menjamin masa depan kalian nantinya?"
"Bahkan guru - guru saja merekomendasikan kami berdua untuk akselerasi ke perguruan tinggi," balas Asma polos.
Ya ampun wajahnya itu membuatku tak kuasa untuk memeluknya dan berkata, "baiklah, nak, Ummi restui kalian berdua."
Tapi tetap saja, aku tak bisa.
"Lantas siapa yang bisa menjamin biaya hidupmu ke depannya, Asma?" lanjutku bertanya, kali ini berusaha sabar.
"Ummi dan Abi pernah dengar ceritaku, 'kan, Althaf itu bekerja sambilan di tengah - tengah kesibukkan sekolahnya. Kemarin dia menunjukkan buku rekeningnya, hasil jerih payahnya selama ini sudah mencapai lebih dari lima puluh juta, lho, Mi, Bisa!" jelas Asma panjang lebar.
Suamiku menganggukkan kepalanya antusias, "Althaf itu memang luar biasa!" serunya tak kalah heboh.
"Ya Allah Abi! Umur mereka ini belum—"
Tiba - tiba ucapanku terpotong saat Arka menempelkan telunjuknya di depan bibirku, "ssstt, ini cuma masalah waktu, Ummi sayang," ujarnya.
"Jadi... Abi merestuinya?" Tanya Asma dengan mata yang berbinar - binar.
Arka menganggukkan kepalanya pelan, "tentu saja. Selama ini Abi selalu memantau perkembangan kalian berdua dan Abi khawatir jika terlalu lama dibiarkan kalian malah terjerumus dan menimbulkan banyak fitnah," ujarnya bijak.
Tiba - tiba Asma menghambur ke pelukan Abunya, "ABI MEMANG YANG PALING TOP!"
Aku melongo tak karuan.
----------
Author PoV
"Lantas kita harus bagaimana lagi, Ros?" keluh Fisha, memijit kepalanya yang terasa pening.
"Kuakui, inilah saat - saat yang paling kuinginkan seumur hidup. Tapi kurasa ini terlalu cepat," timpal Ros, menyandarkan tubuhnya di sofa.
Kedua ibu muda yang sama - sama resah dan gelisah.
"Tapi suamiku se—"
Ucapan terhenti, Ros dan Fisha berkata bersamaan.
"Kamu dulu."
Berbarengan lagi.
Akhirnya tawa mereka terurai bersama
"Tapi suamiku menyetujuinya," ujar Ros membuka suara.
"Suamiku juga! Apa alasannya?" timpal Fisha antusias.
"Jika dibiarkan terlalu lama mereka akan berbuat nekad. Mas Yusuf pernah melihat mereka berpelukan di perempatan jalan dan itu membuat uang jajan. Althaf harus dipotong selama dua bulan lebih."
Mata Fisha mencuat keluar, "benarkah? Arka pun kurang lebih beralasan seperti itu. Ternyata kekhawatirannya selama ini beralasan."
"Ya dan mas Yusuf berkata padaku, "lagi pula apa masalahnya jika mereka menikah muda? Pendidikan? Itu perkara yang mudah, mereka berdua anak yang jenius. Biaya hidup? Althaf memiliki uang yang cukup banyak dan pekerjaan walaupun itu kurang menjanjikan, aku juga bersedia menanggung mereka sampai Althaf lulus kuliah nanti," ucap Ros menirukan apa yang Yusuf katakan tadi pagi.
Fisha menganggukkan kepalanya mengerti, "jadi, hal apa lagi yang harus kita resahkan?"
"Hubungan mereka! Ah, aku akan memberikan hukuman berat pada Althaf di rumah."
"Aku juga!" timpal Fisha bersemangat.
Siang itu mereka lalui dengan berderai tawa.
----------
Althaf memeras kain pel di dalam ember lemas, kelelahan. Sudah seluruh ruangan yang ia bersihkan hari ini, baik di lantai satu dan lantai dua.
Membuka kertas daftar pekerjaan yang diberikan Umminya siang tadi.
✓ Belanja ke pasar
✓ Mencuci mobil
✓ Mencuci piring
✓ Menjemur baju
✓ Menyapu
✓ Mengepel
Menyetrika bajuAlthaf menyeka keringatnya kasar. Tinggal satu pekerjaan lagi yang belum ia lakukan.
"Pantas saja Ummi sering marah - marah," gumamnya pelan.
"Bicara apa tadi, Ra? Coba ulangi sekali lagi," ujar Ros, tangannya masih asik membolak - balik halaman demi halaman majalah lifestyle.
"Pantas saja Ummiku makin cantik, pekerjaannya mulia begini!" jawab Althaf meninggikan suaranya di balik ruangan setrika.
Ros hanya menggelengkan kepalanya dan terkekeh pelan.
"Nikmati hukumanmu, ya, nak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...