Althaf PoV
22:30
Sekarang, aku mengerti bagaimana cemasnya seorang ibu yang menantikan anaknya pulang larut malam.
Seperti yang kurasakan hari ini.
Farra dan Farrel telah dewasa, mereka tumbuh menjadi pria baik dengan segudang prestasi gemilangnya.
Meraih IPK cumlaude dari jurusan yang berbeda, Ilmu Komunikasi dan Kedokteran.
Bila Asma melihat semuanya, aku yakin ia akan bangga.Andai saja Asma masih di sini, menikmati hari tuanya bersamaku…
“Assalamualaikum, Abi…”
Aku terkesiap, “waalaikumussalam,” kuusap mataku yang sudah mulai mengantuk, lalu bangkit dari duduk dan menyiapkan wajah sehangat mungkin untuk malam dingin mereka.
“Maaf, abi. Tadi Farra dan Farrel ada jadwal –"
“Ssttt, abi maafkan. Sekarang kalian bersih – bersih dulu, terus istirahat. Besok, ‘kan, mau jenguk ummi lagi,” potongku cepat.
Mereka mengangguk patuh dan segera pergi ke lantai atas.Aku tersenyum, menghela napas lega. Sekarang waktunya istirahat.
Kurebahkan tubuhku di kasur king size yang masih sama seperti dua puluh tahun lalu, dimana masih ada Asma yang menempati tempat kosong di sebelahku. Dulu.
“Asmara…,” Lirihku pelan.
Sudah dua puluh tahun sejak kepergian Asma, namun keberadaan sosoknya masih terasa dekat denganku.
Kuambil stopmap ukuran sedang di atas meja dan membaca seluruh isinya, kegiatan yang selalu kulakukan tiap malamnya.
Di dalam stopmap inilah, sepenggal kisahku dengan Asma tertuliskan.Pertama.
Foto anak lelaki dan anak perempuan yang berdiri bersisian, memakai seragam TKIT yang sangat pas di tubuh mungil mereka. Lucu.Yang lelaki tersenyum lebar hingga menyipitkan mata, merangkul si anak perempuan rapat. Sedangkan yang perempuan terlihat rishi, menatap si anak lelaki kesal.
Itu kami.
Di bawahnya bertuliskan.
Althaf dan Asma, masih kecil saja sudah terlihat mesra.
Dan itu adalah tulisan tangan Asma.
Kedua.
Foto ini kuambil ketika kami berdua memasuki jenjang SDIT. Di atas panggung, ketika lomba tahfidz qur’an yang meriah kala itu.Ekspresi kami masih sama. Aku dengan wajah bahagiaku dan Asma dengan wajah kesalnya.
Althaf saingan Asma, Asma saingan Althaf. Kita bersaing dalam hal yang baik : )
Ketiga.
Foto yang kuambil ketika kelulusan SMAIT. Aku dan Asma di atas panggung yang sama, dinobatkan sebagai siswa – siswi cerdas di angkatan.Ada yang mulai berubah.
Wajahku tetap seperti biasanya, cerah dan bahagia. Begitu juga dengan Asma, ia tersenyum manis, wajahnya berseri – seri, dan sangat cantik.
Siswa – siswi cerdas angkatan. Serasi, ya? Disini Asma mulai mencintai Althaf, eits, salah. Asma sudah jatuh cinta pada Althaf sejak lama, namun ia baru menyadarinya ketika SMAIT. Ah, romantisnya!
Keempat.
Foto pernikahan kami.
Aku tidak ingin terlalu banyak membahasnya. Bisa – bisa aku menangis malam ini juga.Althaf dan Asma married! Allah memang menakdirkan kami untuk selalu bersama. Pernikahan bukanlah akhir cerita bahagia, justru pernikahan adalah awal dari segala permasalahan yang akan kami hadapi nantinya.
Kelima.
Foto ketika kami berdua telah meraih gelar sarjana. Menggunakan seragam lengkap wisuda, beserta piagam yang mengalungi leher kami masing – masing.Aku merangkul Asma sangat rapat, perut Asma terlihat buncit kala itu, dan kecantikannya bertambah berkali – kali lipat.
Di kala ia sedang mengandung buah hati kami, Farra dan Farrel.
Kami memang akan selalu serasi, bukan? And aw, look at my tummy. I’m pregnant! Alhamdulillah…
Dan lembar terakhir.
Kolom foto yang masih kosong hanya ada sebuah tulisan di sebelahnya.
Isi akhir kisah kita di sini, dengan ataupun tanpa aku. Dan ingatlah, aku mencintaimu, Ta. Dengan segenap jiwa dan setulus hatiku.
Selalu.Mungkin, inilah saatnya. Sudah saatnya aku mengisi lembar yang kosong ini, mengisi akhir cerita kami.
Kuambil selembar foto dan menempelkannya di kolom itu, fotoku dengan Farra dan Farrel, di depan makam Asma seminggu yang lalu.
Lalu kutuliskan kata demi kata dengan spidol hitam di bawahnya.
Dan aku tetap melewati akhir kisah bahagia kita denganmu, Asmara. Kamu selalu bersamaku, di dalam hatiku.
Selalu.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...