Asma PoV
"Althaf belum datang juga, Ra?" Tanya Ummi yang masih setia menemaniku berdiri di depan pagar, menunggu pangeran tanpa kereta kudanya datang menjemput.
"Gak tahu, Mi, lima belas menit lagi bel berbunyi. Aku bisa telat kalau gak berangkat sekarang," resahku, masih menerawang ke jalanan komplek, siapa tahu masih ada harapan pangeranku akan segera datang.
"Ayo, biar Ummi saja yang antar. Mungkin Althaf tidak masuk sekolah," tukas Ummi lalu menyiapkan sepeda motornya tepat di depan pekarangan rumah.
Apa benar dia tidak masuk sekolah ya? Bolos begitu?
Ah, tidak biasanya. Batinku bergelut.
Pada akhirnya, aku tak menolak untuk diantar Ummi ke sekolah.
Syukurlah, aku tidak terlambat. Masih ada beberapa anak yang berkeliaran di sekitar koridor sekolah.
Segera kuucapkan salam dan menyalimi tangan Ummi lalu bergegas menuju kelas.
Kulihat Althaf sedang merebahkan kepalanya di atas meja.
"Hey, apa kamu baik - baik saja? Kamu terlihat demam, apa perlu kuantar ke UKS?" Tanyaku sembari mengecek suhu tubuhnya dengan punggung tanganku.
Suhu tubuhnya normal dan kupastikan ia tidak demam seperti apa yang kupikirkan.
Ia menepis pergelangan tanganku dengan kasar, "Pergilah, bukan urusanmu," jawabnya dingin.
Kubalikkan tubuhku lalu menaruh tas di atas meja dengan sedikit sentakan.
Sedikit jengkel memang, tapi kucoba untuk berpikir positif saja. Mungkin ia sedang ada masalah.
-------
Kelas biologi di siang hari. Rasa kantuk tak tertahan lagi.
Selain pelajarannya membosankan, juga waktu yang tidak memungkinkan bagi para siswa untuk antusias dengan celotehan Bu Aisyah di depan sana.
Aku yakin seisi kelas sudah mengaduh di dalam hati tentang betapa mengantuknya mereka sekarang, namun tak satu pun dari kami yang berani tertidur di kelas Bu Aisyah yang super duper killer itu dan memutuskan untuk memaksakan mata agar terus terbuka.
Kulipat kedua tanganku di atas meja, lalu merebahkan ceruk leherku ke dalamnya seperti yang dilakukan Althaf tadi pagi dan mulai memejamkan mata.
"Althaf Rifqi Abrisam! Bukankah saya tidak pernah mengizinkan siapa pun untuk tidur di pelajaran saya?" Bentak Bu Aisyah lumayan keras, membuat seisi kelas cukup terkejit dari lamunan masing - masing.
Refleks, aku segera bangkit dan duduk seperti posisi semula.
"Bu Aisyah, maafkan saya sebelumnya. Tapi tidakkah anda lihat gadis yang duduk di pojok kanan sana? Dia pun terlihat tertidur pulas seperti saya," ucap Althaf lugas.
Aku pun menoleh dan mencari - cari siapa gadis yang Althaf maksud.
Namun, seisi kelas menatapku dengan tatapan horor.
"Apa benar nona Asmara? Anda pun tertidur dan tidak mendengarkan penjelasan saya?" Tanya guru killer itu seram.
"Emh, i - i... Iya, maafkan saya, Bu. Saya tidak akan mengulanginya lagi," jawabku jujur, tidak berani berbohong karena kuyakin itu akan lebih rumit lagi ke depannya.
"Meminta maaflah setelah anda menyelesaikan rekap tiga bab dan menyerahkannya dua jam kedepan. Sekarang, enyahlah dari kelas saya! Saya tiak membutuhkan siswa pemalas dan tukang tidur," ucap Bu Aisyah tajam.
Segera ku keluar dari kelas dengan lesu, seisi kelas menatapku dengan tatapan belas kasihan.
Dan lihat, hanya aku tumbal Bu Aisyah di kelas ini. Guru horor itu melupakan siapa siswa konyol yang juga membuatnya naik pitam tadi.
Kulihat Althaf yang sempat melirikku sekilas lalu membuang muka.
Mengapa hari ini ia begitu menyebalkan?
----------
Kriiiing...
Yup, bel pulang sekolah!
Segera kubenahi perlengkapan sekolah di dalam tas dan mencari Althaf untuk pulang bersama.
"Sedang apa? Ayo pulang," tukasku lalu menarik lengannya pelan.
"Singkirkan tanganmu, mengotori pakaianku saja," ujarnya dingin.
Kutarik tanganku kembali, menatap setiap jengkal wajahnya yang terlihat kelelahan.
"Aku tahu kamu begitu lelah sehingga bersikap seperti ini padaku. Ceritakan saja keluh kesahmu, aku siap menkadi pendengar setia," ucapku lembit mati - matian menahan rasa jengkel karena perlakuan kasarnya.
"Pergi sana, anak manja sepertimu tidak pantas pulang terlalu sore!" Balasnya ketus dan entah kenapa, aku merasa itu sebuah perhatiannya padaku.
Ya, cinta bisa mengubah kepribadian seseorang. Termasuk aku yang menjadi lebih penyabar, bukan?
"Aku tidak akan pulang jika tidak bersamamu!"
"Aku pun tidak akan pulang jika harus bersamamu."
"Baru kemarin aku bercanda dan berbicara cinta denganmu, namun sekarang kamu kembali pada kepribadianmu yang dulu, dingin dan ketus padaku," ucapku panjang lebar, berusaha meluruskan semua ini pada keadaan yang seharusnya.
"Kalau begitu menjauhlah dariku."
"Aku telah menaruh hatiku seutuhnya padamu dan kamu pikir aku akan menyerah dengan cepat? Jangan harap. Cinta tak semudah itu!" Seruku sengit.
"Tidak usah berbicara tentang cinta jika kamu sendiri tak tahu arti cinta sesungguhnya!" Bentaknya kemudian, rahangnya mengeras dan pandangannya menggelap. Ia benar - benar marah.
"Kemarin kamu bersikap manis padaku, lalu esoknya kamu kembali mengacuhkanku dan begitu seterusnya. Kamu pikir ini semua hanyalah permainan?" Balasku tak kalah keras.
"Kamu tidak mengerti, benar - benar tak akan mengerti," lirih Althaf kemudian.
"Ya, benar. Aku tidak pernah mengertimu, Ta. Aku tidak akan pernah mengerti dengan semua permainan hatimu," ucapku akhirnya.
Berbalik dan meninggalkan Altjaf yang masih termangu di tempatnya.
Pertahananku runtuh, air mataku pun meluruh.
Seharusnya sejak awal aku menyadari untuk tidak jatuh pada pesonanya. Lihat, aku benar - benar terjebak dalam permainan konyol ini.
Sesakit inikah jatuh cinta?
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...