Author PoV
Sejak kejadian di rumah Bunga seminggu yang lalu, Asma benar - benar menuruti permintaan Althaf untuk tidak mengganggunya lagi.
Tidak menggubris ketika disapa, diajak mengobrol, bahkan tidak pernah lagi menatap Althaf barang sedetik pun.
Dan itu membuat Althaf uring - uringan seminggu belakangan, rasa sesal terus - terusan menghantuinya tak karuan.
Katakan Althaf lelaki yang bodoh karena menyakiti gadis yang dicintainya berkali - kali karena itulah kenyataannya.
Emosinya sedang tidak terkontrol saat itu, sehingga keluarlah kata - kata yang tak sepantasnya ia paparkan di depan gadisnya.
Bagaimana tidak, ia harus menghadapi bocah baru yang tingkat kelabilannya semena - mena, belum lagi dengan kecemburuan gadisnya yang terlampau kekanak - kanakan.
Asma, gadis yang meneguhkan hati untuknya, yang tetap bertahan walaupun berkali - kali hatinya Althaf patahkan.
Dan sekarang, gadis itu memilih untuk pergi, karena merasa posisinya sudah tidak berarti lagi. Segenap hati dan kesabaran yang ia pertaruhkan hanya dilihat sebelah mata.
Althaf menatap langit - langit kamarnya nanar, jika malam Minggu biasanya ia akan ditemani suara merdu Asma diujung telepon, kali ini malam Minggunya berbeda. Terasa hambar, bahkan mendekati pahit.
Sekarang, ratusan teleponnya hanya tertelan seperti angin, ribuan teks telah ia kirim secara cuma - cuma, tanpa balasan.
"Asma, kumohon maafkan aku. Lupakan perkataan kasarku kemarin, aku sungguh mencintaimu..."
Althaf meringis pelan, menyadari bahwa dirinya selalu membuat masalah menjadi semudah itu. Menyakiti Asma, lalu memintanya untuk melupakan kesalahan itu.
Althaf itu pinta namun bodoh di saat yang sama, ya?
"Akan kujauhi Bunga jika kamu memintanya, akan kubuang bocah itu jauh - jauh. Tapi kumohon, kembalilah seperti Asma yang dulu..."
"Aku benar - benar bodoh, ya, Ra?"
Kembali teringat perkataan Ari kemarin, "kejar cinta sebelum cinta berlari terlalu jauh dan tak bisa lagi kau rengkuh. Jangan ada rasa takut, cinta itu butuh keberanian."
Sepertinya, Althaf sudah tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
----------
Di sepanjang jalan, dua anak manusia ini terdiam. Tidak ada yang berani untuk memulai pembicaraan.
Dan sesampainya mereka di Taman Anggrek, mereka disuguhkan dengan pemandangan puluhan remaja yang sedang bermesraan di sekitar taman, berbanding terbalik dengan mereka, Althaf dan Asma, yang terkesan kaku, bahkan tubuh mereka melampaui satu meter jaraknya.
Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk duduk di bangku taman yang lumayan jauh dari keramaian.
"Aku akan pulang kalau kamu tetap diam," ujar Asma, akhirnya membuka suara.
Althaf menghela napas berat, "sampai kapan kamu akan begini?"
Sedangkan Asma hanya terdiam. Terlalu banyak yang ingin ia katakan, namun mulutnya terasa berat untuk mengungkapkan.
"Jawab aku," lanjut Althaf memohon, menatap sendu kedua mata Asma yang masih melihat ke arah jalanan dengan tatapan kosong.
Mata biru itu, yang keindahannya selalu memukau dan memabukkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...